Selasa, 15 November 2011

Di Bawah Langit Sindoro
























Dokumentasi oleh : M. Erlangga Fauzan dan Wiwid Nurcahyo

Pesta Para Manusia Penanda

Berpose bersama rombongan dari Jakarta dan Bekasi
Sekitar jam sepuluh malam, Jumat (11/11), kami akhirnya sampai di basecamp Gunung Sindoro. Sebelum dibuat bingung oleh jalanan desa Kledung, Temanggung, yang mengharuskan kami berputar-putar dulu di desa tersebut. Setelah bertanya penduduk setempat akhirnya ketemu juga rumah singgah untuk pendaki itu. Kami datang hanya berdua saja, saya dan Faizal alias Kriwik, karena teman-teman yang lain beralasan macam-macam yang menyisakan kita berdua saja menuju Sindoro. Tampaknya yang datang duluan bukan kami. Ternyata anak-anak Sasenitala Jogja yang notabene teman saya juga dan sebelumnya memang kita janjian untuk mendaki bersama-sama sudah datang duluan. Malahan mereka sudah bersiap untuk masak dan membuat minuman hangat. Total ada lima orang pada malam itu yang berhangat di basecamp.
Lepas tengah malam datang rombongan pendaki dari UGM. Membuat suasana kembali gaduh. Merusak tidur malam kami yang bercampur dingin gunung. Kita ngobrol dengan bahasan yang sering terdengar di kalangan para pendaki. Seperti dari mana asal, kesini naik apa, jam berapa dari sana, dan sebagainya. Setelah cukup ngobrol setengah nglindur bersama anak-anak Kampus Biru kami lanjutkan misi pencarian mimpi yang tertunda.
Pagi datang bersama angin yang begitu pelan tetapi dinginnya tak tertahankan. Mungkin pukul lima pagi saya terbangun karena saking dinginnya daerah itu. Saya lupa jam berapa tepatnya. Sekitar jam itu pula rombongan pendaki dari Jakarta datang dengan tiga orang cewek dan empat orang laki-laki. Ternyata teman saya dari Sasenitala, Amri juga mengadakan janji dengan mereka. Pagi itu suasana begitu meriah dan rame karena berbagai logat daerah beserta tinggi rendah suara ciri khas masing-masing keluar liar. Kalau dibikin lomba mungkin pemenangnya anak-anak dari Jakarta karena suara-suara mereka memang seperti toa masjid. Ha-ha-ha.
Saya bersama Kriwik tidak membawa institusi atau atas nama bendera apapun, kecuali dari dalam diri kami, kami mengatasnamakan GAPALA (Gayane Pecinta Alam), sindiran yang dibuat teman-teman SMA dulu karena secara sadar tidak mampu menjadi seorang mapala. Saat itu kawan-kawan berpikiran bahwa menjadi seorang mapala haruslah punya tanggung jawab besar dan banyak menyita waktu untuk melakukan visi-misi organisasinya. Tidak hanya menonjol pada style, uang, ataupun equipment-equipment merk-merk terkenal dan mahal. Pada dasarnya seorang mapala juga harus dekat dengan lingkungan masyarakatnya, di dalamnya terdapat cara berpakaian, cara bertutur kata, cara adaptasi sosial-budaya setempat dan tidak tanggung-tanggung untuk bermuka ramah dan penuh senyum saat berhadapan dengan orang lain. Oleh karena itu sampai sekarang, saya belum tertarik untuk ikut terjun dalam organisasi mapala.
Diputuskan bahwa rombongan yang sudah janjian ini akan mendaki bersama. Tetapi ya setelah bersih-bersih badan dan tentunya sesudah mengisi perut masing-masing. Pukul setengah tujuh pagi kami berangkat mendaki. Melewati rumah-rumah penduduk. Disambut pula dengan sapaan maupun senyuman ramah dari orang-orang setempat. Yang mengherankan dan menakjubkan adalah merekalah yang menyapa kita dulu. Padahal kita sebagai tamu alias pendaki dari luar daerah itu dan mereka sangat welcome. Sikap mereka membuat kami merasa nyaman sekaligus kagum. Kearifan lokal seperti inilah yang patut kita contoh.
Sebelum memasuki hutan Sindoro, kami harus berjalan kaki cukup jauh. Melewati jalanan yang terbuat dari batu yang jaraknya kurang lebih satu jam perjalanan. Trek ini sangat membosankan. Hampir-hampir kami dibuat frustasi oleh karena jalanan yang tidak sampai-sampai ke batas hutan. Kami hanya bisa mengobatinya dengan obrolan seru saja, juga ala kadarnya. Memasuki hutan kami dibuat shock karena ditengah-tengah trek ada dua buah belalang tempur alias motor. Mengapa tidak terpikir untuk menyewa ojek motor saja?, yah semacam itulah perasaan sambat saya. Huh!
Jalur-jalur setelah ini cukup berat dan melelahkan. Rute dengan tanjakan berkedalaman setengah betis orang dewasa yang banyak dilalui mengharuskan agar tetap kokoh melangkah. Agar badan, khususnya kedua kaki tetap stabil. Setelah pos I kami lewati jalur sebelah barat. Jalur ini terjal dan menanjak. Juga terdapat jalur yang kita lewati terlihat sudah lama tidak dilalui. Di depan cuma terlihat semak lebat dan tak ada jalan setapak satupun. Kita putuskan berhenti sejenak sembari menunggu rombongan yang masih tertinggal di belakang. Setelah usaha cukup lama membuka jalan akhirnya kami kembali ke jalur pendakian.
Cara berjalan kami sudah tidak sekuat awal. Akhirnya rombongan terpecah menjadi dua kelompok. Rombongan anak-anak Jakarta tertinggal jauh di belakang. Saya dan Kriwik bersama anak-anak Sasenitala, yang terdiri dari Amri, Thomas, dan Wiwid. Berlima orang ini saling selip dengan rombongan anak-anak UGM. Ketika kita istirahat mereka gantian menyelip. Lalu sebaliknya. Tetapi rombongan UGM meninggalkan kita jauh saat kita berhenti di bawah pohon sebelum melewati jalur tanjakan panjang dan penuh tumpukan bebatuan. Apalagi kita beristirahat sambil menyalakan rokok. Dengan patokan satu batang rokok habis kita kembali lagi berjalan. Setelah itu jalur penuh tanjakan-tanjakan dan bebatuan menyambut kita.
Di punggungan bukit yang dipenuhi padang rumput saya memutuskan berhenti beristirahat. Sambil memandangi pemandangan pucuk Sumbing yang terlihat jelas. Saya mengeluarkan satu ikat ketupat untuk Kriwik dan Wiwid yang dari perjalanan sebelum bukit ini mengeluh terus ingin makan. Satu tiga ikat habis disantap orang bertiga. Praktis dengan kita bertiga beristirahat cukup lama, jarak dengan rombongan di depan cukup jauh. Tapi tak mengapa pemandangan disana cukup indah juga. Walaupun setelah ini kita tak tahu rute selanjutnya yang harus dilalui. Kita bertiga sadar bahwa setelah ini tidak tahu mana jalur yang akan ditempuh. Dengan berbekal kompas kita identifikasi arah mata angin. Pokoknya patokannya harus berjalan ke arah utara agar tidak tersesat. Meskipun tidak menemukan jalan setapak prinsip kami adalah menemukan jalan ke arah utara. Kita membuka jalan tanpa golok tetapi dengan kayu seadanya kita membabat semak belukar yang mengahalangi pandangan kami. Saya sempat senang karena menemukan jalan setapak tanda pernah dilalui orang. Tapi saat saya tapaki sedikit demi sedikit saya menjumpai sebuah lubang berbentuk persegi ditutupi jerami dan diluarnya dikotaki dengan ranting-ranting pohon. Saya kira itu jebakan celeng atau hewan berkaki empat lainnya. Kriwik pun datang atas panggilan saya dan mengambil sebuah kayu panjang. Lantas mengecek kedalaman lubang tadi dengan kayu itu. Ternyata kedalaman lubang itu dalam juga, hampir dua meter tinggi lubang tersebut.
Dugaan saya salah. Ternyata lubang persegi itu digunakan oleh penebang pohon liar untuk membakar hasil kayu-kayunya kemudian dijadikan arang. Kata warga setempat, satu lubang persegi yang kira-kira berukuran setengah meter kali satu meter tadi bisa menghasilkan 3 kubik arang siap jual. Saya juga sempat berpikir mengenai kebakaran hutan yang terjadi di Sindoro. Berbagai analisis berputar di kepala. Apakah disengaja atau tidak. Atau faktor ekonomi membuat orang-orang berburu arang dan berbuat tega sampai-sampai membakar hutan ? Hanya Tuhan yang tahu.
Setelah berjibaku dan sedikit bermain wall climb dengan rumput-rumput liar. Akhirnya kami kembali lagi ke jalur pendakian semula. Selamatlah hidup kami! Fiuh! Sekitar pukul dua siang kita berlima berkumpul kembali di Batu Tatah. Sebutan tempat kumpulan-kumpulan batu besar sebelum puncak. Kita memutuskan untuk bermalam dan membuat tenda disitu. Cuaca diatas sini tidak menentu. Kabut kadang datang dan pergi. Awan mendung kadang tepat diatas kami dan hujan pun turun. Lalu sejenak berhenti dan keluar lagi. Tapi saat benar-benar kabut dan awan mendung pergi, Gunung Sumbing terlihat jelas walaupun hanya terlihat puncaknya saja. Petang datang sambil membawa angin-angin dinginnya. Untung saja teman saya, Amri, sedari empat orang membangun tenda dia menyiapkan kayu-kayu dan membuat perapian. Hangatlah suasana meskipun tidak menghilangkan semua rasa dingin. Kopi dan mie rebus nan pedas menemani kami. Saya tidak tahan dengan pedas mie rebus bikinan Kriwik dan memutuskan berhenti makan. Bergegas saya mengambil kamera saja untuk mendokumentasikan berbagai peristiwa dan moment-moment menarik di petang itu. Thomas dengan rambut kribonya yang selalu risih terhadap sampah-sampah. Setiap ada sampah yang berserakan dikumpulkannya dan dibakar diatas perapian sebagai ganti persediaan kayu yang tidak banyak. Wiwid sibuk dengan dandanannya yang selalu minta foto berbagai pose untuk alasan stok foto facebooknya. Saya meladeni juga dengan penuh kesabaran. Ha-ha-ha ada saja laki-laki teman saya satu ini. Kriwik yang kalem dan Amri yang penuh kesabaran menjaga api tidak luput dari jepretan kamera saya.
Malam pun tiba, didekat perapian kami mengobrol dan bertukar cerita masing-masing mengenai kisah-kisah mendaki gunung. Berbagai pengalaman dan suka duka sebagai anggota mapala juga sempat dituturkan Amri, yang bercerita tentang kurangnya anggota yang masuk dalam divisinya, yaitu PA, Pecinta Alam. Membuat dia merasa kurang yakin akan kelangsungan dan kelestarian alam ini, khususnya kawasan gunung di Indonesia. Saya juga berpikiran sama dengan Amri tetapi bukan masalah kekhawatiran dia terhadap kondisi organisasinya. Tetapi masalah kelestarian alam. Masalah kecil saja, di gunung masih banyak sampah berserakan sisa-sisa bahan makanan. Sampah plastik yang susah diurai banyak dijumpai di kawasan camping site. Lebih parah lagi batu baterai dan gas-gas tabung kecil dibiarkan berserak begitu saja. Kita sudah bisa menebak siapa pelaku-pelakunya tanpa harus saya sebut dengan suatu kata ataupun kalimat. Sesuatu hal yang sangat miris dan perbuatan yang tidak mencerminkan orang Indonesia yang penuh dengan tradisi dan kearifan lokal. Gunung sebagai tempat berpikir, berdiam diri menjernihkan alam batin dan raga, dan untuk melepas penat tidak sepantasnya kita meninggalkan sampah disana. Perapian sudah hampir padam. Kami mengehentikan obrolan dan bergegas untuk tidur agar tubuh fit keesokan harinya. Tenda yang mulanya disarankan untuk tiga orang ini akhirnya dimasuki oleh lima orang. Walaupun penuh sesak dan hampir tidak bisa untuk menggerakkan badan tetapi hangat lebih terasa. Terpaksa juga kami harus tidur dengan hanya satu gaya saja mengingat satu tenda kecil dengan muatan lima orang dewasa bertubuh besar-besar. Kami pun tidur dengan mimpi yang asal nyangkut aje.
Pagi tiba dengan kabut-kabut dinginnya yang sepoi-sepoi. Saya keluar tenda memandangi sunrise yang begitu indah. Warna orange yang memantul ke awan-awan membuat pagi terasa syahdu dan tidak henti-hentinya saya berucap syukur kepadaNya. Sebelum pergi puncak kita mengadakan pesta kecil-kecilan dengan memasak sarapan yang spesial. Ada irisan daging sapi berbumbu, sarden, dan makanan khas para pendaki, yaitu mie rebus. Menu pertama, kita membuat tumis daging tidak lupa irisan cabe yang entah berapa jumlahnya, irisan daun bawang, irisan kentang, irisan brambang dan bawang, dan irisan sawi. Semua ditumis jadi satu sampai benar-benar lunak. Menu pertama selesai dilanjutkan membuat sarden dan mie rebus. Setelah benar-benar selesai kita berlima berkumpul membuat lingkaran untuk makan secara bergantian. Ternyata tumis dagingnya benar-benar pedas, untung saja terobati dengan irisan daging sapinya. Kami makan dengan lahap tetapi tidak dengan Amri, setelah beberapa sendok makan ia berhenti. Entah kenapa ia kalau makan sedikit saja. Apa karena kepedasan atau lagi program diet ya? Hmmm.
Semua sudah selesai. Peralatan dan perlengkapan masak memasak dibereskan dan dibersihkan. Tiba-tiba saat semua anggota rombongan melakukan bersih-bersih, Kriwik memintaku untuk mengambilkan gulungan tisu. Semuanya pun tertawa. Ia pun bergegas pergi menuju balik batu besar untuk melakukan ritual besarnya alias BAB. Satu orang sudah menjadi korban. Lantas siapa setelah itu? Saya adalah korban kedua dilanjutkan Amri yang sembarangan BAB di tengah jalur mendaki. Ha-ha-ha gueh sukeh gayah loeh! Ternyata korban keganasan si cabe belum berhenti, Thomas menjadi korban ketiga dan tanpa rasa bersalah setelah BAB ia malah tertawa lebar. Cuma Wiwid yang tidak melakukan BAB dan saya anggap ia hebat karena ia bisa menahannya sampai turun gunung. Yaaa kita telah memberikan kenang-kenangan yang indah pada tempat ini. Kita telah membuat tanda yang ramah lingkungan. Yang bebas dari coret-coretan cat ataupun pylox penanda nama orang maupun nama institusi. Tanpa pula memasang tanda-tanda yang merusak pohon alias memakunya.
Pukul delapan pagi kami berangkat untuk ‘muncak’ dengan berbekal satu botol air mineral besar. Ternyata jarak yang kami tempuh dari tenda menuju puncak melelahkan juga. Jalur yang dilalui berat dan menanjak tiada henti. Dengan trek yang terjal dan banyak bebatuan besar membuat kaki diuji ketahanannya. Setiap langkahan kaki berkisar 20-30 cm tingginya ke langkah selanjutnya. Langkahan-langkahan seperti inilah yang menguras tenaga kami. Hingga setiap ada tikungan kami memutuskan untuk berhenti sekedar mengatur nafas. Kurang lebih dua jam kami melewati trek menanjak nan panjang. Semuanya tidak sia-sia karena rasa lelah dan capek terobati dengan pemandangan yang menakjubkan. Rombongan dari Bekasi menyambut kami dengan teriakan-teriakan selamat datang. Saya ingat betul satu orang dari rombongan yang bergaya rambut avatar paling mencacati saya karena saya memakai baju batik, sebuah peci, dan kaca mata hitam. Dasar kepala avatar, ha-ha-ha.
 Puncak Sindoro berupa kawah melingkar dan dibawahnya terdapat dua buah kawah, satu terisi air dan satu adalah kawah mati. Setelah menikmati pemandangan dari atas dan puas berpose kami memutuskan untuk turun ke bawah melihat-lihat dua kawah itu. Waktu itu bau belerang lumayan menyengat. Baunya sangatlah tidak sedap. Sebelum turun ke kawah berair sedikitnya ada dua sumber asap belerang yang mengepul. Lama kelamaan asap belerang itu makin mengepul dan makin kuning. Jalur untuk turun ke kawah berair bisa dibilang cukup sulit. Teman-teman sangat berhati-hati memilih batu dalam memijakkan kakinya karena disamping licin bebatuan seringkali rapuh dan tidak tahan pijakan. Dengan mengencangkan nyali dan keberanian akhirnya saya berhasil untuk turun ke kawah itu. Karena saya sempat takut untuk turun dan hampir saja terjatuh akibat sepatu yang licin. Di kawah bagian bawah ini sumber asap belerang lebih banyak daripada diatas. Sedikitnya sekitar enam buah titik asap belerang yang mengepul. Tapi ada satu titik belerang yang dapat dinikmati teman-teman. Lokasinya disebelah pojok tebing bagian barat. Titik itu berada di dalam air. Suaranya seperti air mendidih dan mudah untuk ditemukan. Teman-teman banyak mengambil airnya untuk mencuci muka dan membasuh jenis luka. Mulanya kami tidak tahu menahu dan menganggap biasa saja atas munculnya asap maupun bau belerang di dalam kawah Sindoro. Tetapi saat kami kembali ke basecamp dan bertukar cerita mengenai asap dan bau belerang tersebut kepada rombongan dari Bekasi, penjaga basecamp tak sengaja mendengar obrolan kami. Kami pun dibuat geger dan terkaget-kaget karena penjaga basecamp, yang saya lupa namanya, memberitahukan bahwa Sindoro sudah sekitar 30 tahun tidak pernah terjadi aktivitas-aktivitas kegunungapian seperti asap maupun bau belerang. Rumah singgah para pendaki itu mulai mendadak ramai. Para pemangku kepentingan datang silih berganti ke rumah itu saling tanya dan member kabar perihal asap belerang tersebut. Warga yang tergabung dalam SAR Sindoro sempat meminta untuk dilihatkan foto-foto titik asap belerang. Sebagai bukti dan bahan laporan kepada lembaga diatasnya dalam hal ini Pusat Pemantauan Gunung Sindoro. Semoga laporan itu dapat segera direspon untuk menanggulangi kemungkinan-kemungkinan yang terburuk.
Hari itu Ahad malam pukul 9 malam, Saya dan Kriwik berpisah kepada rekan-rekan pendaki lainnya. Kepada anak-anak Sasenitala, rombongan Jakarta, dan Rombongan Bekasi kalian adalah pendaki-pendaki yang hebat. Memang tidak ada kenang-kenangan fisik yang berkesan diantara kita. Tetapi dengan kenangan hasil dokumentasi yang kita tinggal di basecamp maupun saat saling menghimpun informasi mengenai asap dan bau belerang, kita sebenarnya sudah membuat kenangan yang berharga nilainya. Setelah kembali dari gunung kita bisa ambil manfaatnya dan kembali ke peran masing-masing di dunia yang nyata, dunianya manusia makhluk sosial. Di tengah kesibukan sehari-hari, entah itu sekolah ataupun kuliah marilah kita berpesta dalam ribu penat dan tumpukan kegelisahan diatas pucuk gunung. Tempat tinggi buat para pemikir dan para pencari ketenangan. Tetaplah berpesta dan jangan lupakan impian karena tanpa impian hidup memang terasa singkat.