Rabu, 26 Desember 2012

Katalog : Cara Pandang Membaca Otak Seniman


Penghujung tahun seperti biasanya Yogyakarta dibanjiri oleh berbagai acara-acara kesenian berbagai macam disiplin ilmu. Diantara semua kegiatan kesenian, saya mengunjungi sebuah pameran seni rupa bertajuk “My Existence” karya Sutrisno di Bentara Budaya Yogyakarta 15 – 23 Desember 2012 dan pameran fotografi “Meminjam Mata dan Melihat Ruang” karya Fehung di Kedai Kebun Forum 20 – 15 Januari 2013. Mereka berdua sama-sama pernah menimba ilmu di ISI Yogyakarta. Sutrisno lulus tahun 2010  FSR jurusan seni murni dan Fehung lulus tahun 2012 FSMR jurusan fotografi. Mereka juga sama-sama berpameran secara tunggal di akhir tahun ini.

Ada persamaan mendasar antara karya Sutrisno maupun Fehung ini. Yaitu mereka berangkat dari pengalaman sehari-hari. Persoalan keseharian yang mereka dapat mengilhami karya-karya yang mereka pamerkan. Dua orang ini – dengan melihat  karya-karyanya, merespon keadaan sekitar yang kadang orang-orang lain mengacuhkannya. Sutrisno dengan teknik cukil dan hand colouring banyak merespon kehidupan sosial masyarakat serta masalah ataupun potret keseharian orang-orang di dalamnya. Karyanya dengan judul Together adalah salah satu yang menyentuh. Terlihat dua orang perempuan memandikan bayi – entah perempuan yang mana ibunya bayi itu. Perempuan yang satu duduk diatas kursi kecil dan satunya jongkok. Tampak pula senyum riang perempuan yang memandikan anak itu. Aktivitas itu tidak terjadi di dalam kamar mandi ataupun di dalam rumah melainkan di tengah jalan – sepertinya di depan jajaran toko atau lapak, dikuatkan dengan visual sesosok orang yang berjalan dan dua anjing di dekat aktivitas itu.

Aktivitas intim ini setidaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan pengamat politik atau ekonomi tentang dampak-akibat suasana kacau-balau negri. Yaitu mengenai suasana chaos dan antisosial, yang tidak terbukti berdampak luas. Juga membuktikan bahwa teori tidak selamanya berbanding lurus dengan keadaan di lapangan. Salah satu faktor yang menepis segala prasangka diatas adalah ikatan batin manusia, merujuk pada satu pusat kelahiran dan proses penciptaan yang sama. Deskripsi ini disimbolkan dengan seorang bayi. Bayi sebagai antitoksin supaya tidak rusuh dan terus gelisah pusing memikirkan nasib. Bayi juga simbol kehidupan bersih nan suci. Dengan melihat bayi – atau bersentuhan langsung (memandikan) orang-orang tidak lagi memandang remeh kehidupan, bahwa kehidupan layak diperjuangkan. Bahwa tidak ada gunanya berkeluh kesah apalagi hidup saling merugikan. Bayi adalah refleksi diri juga cerminan kehidupan ideal komunitas manusia global, damai dan hidup rukun. Karya diatas seakan cuek terhadap panggung retorika para politikus. Memberitahu juga bahwa media massa khususnya televisi terlalu melebih-lebihkan masalah. Hingga orang-orang yang menonton televisi merasa terancam, dibodohi, dan dihantui oleh kabar menyesatkan. Kabar yang tidak sesuai kenyataan di masyarakat. Berita tentang kerusuhan, kemiskinan, kekhawatiran, dan isu-isu provokatif yang sengaja dibuat untuk kepentingan ekonomis segelintir orang atau penguasa.

Begitu pula dengan karya Fehung. Menggunakan media fotografi, Fehung merekam dengan cahaya objek yang ditemui di kesehariannya. Ia memotret toko sandang, buah-buah, toko kijing, dan lain-lain. Tetapi yang membuat pameran ini berbeda adalah kita dipaksa untuk menjadi orang yang bersudut pandang sebagai penjaga ataupun pemilik tempat yang di potret. Dengan hanya menyisakan latar depan sebagai bingkai dan menghilangkan latar belakang foto, Fehung seakan mengajak kita berjalan-jalan di dunia imaji. Mengajak supaya kita dapat berperan dan bagaimana rasanya bukan menjadi diri kita – memposisikan diri sebagai liyan sesuai dengan profesi pekerjaan di dalam foto-foto tersebut. Mengajak kita untuk lebih mengenal sifat dan menjalin hubungan dialogis kepada sesama. Seringkali orang-orang mudah terpancing emosi gegara saling beradu pendapat. Atau yang lebih sepele lagi, orang-orang mudah marah main pukul hanya karena saling pandang. Itu tak lebih dari sifat egois manusia yang tidak menjalin dialog. Cobalah ketika kita mengedepankan dialog. Pasti segala prasangka buruk akan sirna.

Fehung dan Sutrisno sudah mengingatkan kita. Karya Fehung mengedepankan dialog dan Sutrisno yang mengajarkan melihat setiap persoalan dengan jernih dan positif. Mereka berdua sukses mengangkat tema-tema ringan dengan tidak meninggalkan esensinya. Kehidupan sehari-hari masyarakat dikemas apik dan artistik dalam kedua pameran tersebut.
Sayangnya ada satu aspek pendukung pameran yang belum digarap maksimal oleh mereka. Yakni katalog. Coba kita cemati satu per satu. Katalog mereka mempunyai format berbentuk leaflet. Satu kertas dilipat menjadi beberapa bagian. Setiap satu halaman penuh gambar maupun tulisan. Saya tidak akan mengkritisi isi di dalam katalog mereka. Bagi saya di dalamnya sudah mewakili pameran yang mereka angkat. Mengenai ideologi ataupun tujuan mereka dalam berpameran. Disini saya akan menulis sampai sejauh mana katalog mereka dapat menghidupi dan dihidupi oleh orang-orang yang memiliki, mempunyai. Artinya bagaimana katalog itu dapat berbicara sendiri diluar kegiatan pameran yang berlangsung. Dapat berdiri sendiri sebagai tangan kanan yang panjang bagi pemikiran mereka berdua. Yang seharusnya dikemas bukan saja ringan, efisien, dan hemat tetapi juga bagaimana dalam membuat katalog – dalam bentuk dan format bisa bertahan lama dan patut ditempatkan pada jajaran rak buku level atas.

Aspek fungsi katalog setelah acara pameran belum menjadi wacana yang penting. Padahal, katalog, yang mungkin tidak disadari adalah tubuh kedua yang terus hidup untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan. Seperti apa yang ditulis Mikke Susanto dalam Menimbang Ruang Menata Rupa: Katalog – kumpulan tulisan, foto, dan data arsip sebuah pameran juga tak ubahnya sebagai ruang dialog antara berbagai pemahaman yang dimiliki pembuat dan pembaca. Dari sana terbaca atau menjadi semacam peta bagi penonton agar tak tersesat dalam memahami karya seni rupa yang dipamerkan. Dan sekaligus menjadi siasat penyelenggara untuk menghindari kebekuan terhadap pencitraan-pencintraan karya dari makna dan nilai pentingnya kehidupan.

Secara keseluruhan, katalog disini masih dikemas sembarangan. Fehung memamerkan karya fotografinya. Sutrisno dengan karya seni rupanya. Tetapi dengan katalog yang sama secara bentuk dan isi, bagaimana penonton dapat membedakan dengan tepat dan jelas kedua pameran itu (ini untuk masyarakat awam). Juga saya merasa kasihan kepada katalog ini, katalog yang dikemas berukuran persegi dan dilipat sedemikan rupa menjadi beberapa bagian, yang menurut saya itu merupakan katalog yang belum matang. Ibarat benda yang belum matang, dia mungkin saja hanya tergeletak di bawah meja, dibawah tumpukan kertas-kertas gagal print, atau lebih parah di dalam tempat sampah, karena orang-orang urung merawat dan membaca arsip pameran tersebut. Katalog bisa bertahan lama di tangan kedua jika pengemasan lebih menarik. Visual yang indah nan cantik. Juga bahan kertas dan format yang memungkinkan katalog itu bertahan lama, berfungsi sebagai dokumen dan arsip pribadi.

Akhirnya, semoga wacana mengenai katalog ini mendapat respon oleh para seniman. Agar lebih digarap maksimal dan mempunyai visi ke depan. Sebagai sebuah media perpanjangan ide dan pemikiran ke sebuah tangan yang baru dan awam. Sebagai media pengingat bahwa tanggal sekian bulan sekian tahun sekian pernah diadakan pameran si x di x. Juga menjadi jendela yang di dalamnya terdapat seorang seniman yang besar karena pemikirannya. Dengan kesadaran seperti itu, tidak mungkin tidak sebuah keindahan dan kebaikan akan menyebar di hati sanubari masyarakat luas.

Selasa, 25 Desember 2012

Diam

Percakapan lalu diam.
Kau memandangku lelap.
Menyapukan senyum rindu berminggu-minggu.
Matamu yang empat kemudian menodongku
menanyakan kenapa ku pergi cepat.
Entah. Kujawab dengan diam dan meringis seadanya.
Tapi bibirmu menangkap lain: "Oh", katamu.
"Maaf, waktu itu ada acara"
"Ya, nggak apa-apa, maklum kan kamu orang sibuk"
Sebetulnya tidak ada yang lebih sibuk dan kesibukan selain mempersiapkan apa-apa untuk menemuimu.
Menyiapkan segala amunisi kekebalan mental bercakap denganmu.
Melatih cara tutur dan mengahapal kosa kata.
Merapal depan cermin guna bersiap ke medan laga: Berdialog denganmu.
"Jam malammu masih sama?"
"Ya, kenapa?"
"Besok kujemput di rumah jam tujuh malam"
"Baik, kemana kita pergi?" 
"Warung kopi yang dahulu pernah kita bahas"
"Hmmm, janji ya?"
Aku pun mengangguk. Dia pun tersenyum.
Sambil membetulkan letak kacamata, ia berseru:
"Semoga besok aku bisa menikmati kopi bersamamu"
Pecakapan lalu diam.