Selasa, 29 Januari 2013

Air Terjun Cengkehan












Lokasi dusun cengkehan, desa wukirsari, kecamatan imogiri, kabupaten bantul, DIY
Foto : Faizal Nur Achmad

Minggu, 13 Januari 2013

Hujan

Hujan masih lebat di luar sana
Suara gemuruh petir saling sahut diatas langit
Para dedaunan seirama berlenggak-lenggok mengikuti angin
Rintik bercumbu dengan tanah, mesra
Air menggenang dan gelombang kecil tercipta

“Pak, hujan kapan reda?”

Dia menatap mata bapaknya. Bapaknya tetap acuh. Tak dihiraukan suara anaknya itu.

Sang bapak masih terlihat khidmat dengan pandangannya. Melihat dengan seksama keadaan diluar rumah. Hujan bertambah deras.

Angin bertambah kencang. Suara air bertambah keras. Kodok-kodok menciptakan bebunyian ritmis dan harmonis.

Teh panas. Kebulnya tipis keluar dari gelas. Warnanya yang coklat bata mengingatkan akan kematian, warna tanah. Wanginya harum dan pekat membuat kenangan-kenangan tak sengaja tercium kembali. Memori masalalu datang bersama hujan dan ruang keluarga.

“Pak?”
“Ya?”
“Kenapa tidak juga berhenti?”

Bapak menoleh pelan kepada si buah hati. Dia hanya bisa tersenyum. Dielusnya rambut si anak beberapa kali. Mereka saling bertatapan.

“Habiskan susumu”
“Biarkan hujan berhenti dengan sendirinya, Nak. Duduklah tenang dan nikmati saja”

Bau tanah menyebar ke penjuru ruangan. Sang anak menempelkan kepala ke dada bapaknya. Tersenyum lalu tertidur pelan. Hujan masih tetap sama. Si bapak memeluk erat badan anaknya. Dipandangnya buih air pada kaca jendela. Kenangan, pikirnya. Bau tanah menyebar ke penjuru ruangan. Dingin mulai menusuk. Irama air bersahut-menyahut mensyahdukan ruangan keluarga. Hujan masih tetap sama. Bapak menghirup nafas dalam. Ditahannya beberapa saat. Lalu perlahan dikeluarkannya suara pelan.

“Hujan malam ini sangat indah, Dik”

Bau tanah menyebar ke penjuru ruangan. Hujan masih tetap sama.

Rabu, 02 Januari 2013

Membaca Lewat Foto


Dari waktu ke waktu penggunaan teknologi untuk mengaktualisasi diri semakin tinggi. Di era digitalisasi sekarang memungkinkan manusia untuk tampil ke khalayak. Salah satu medianya adalah jejaring sosial. Adanya media ini membuat orang-orang berlomba untuk menunjukkan eksistensi mereka.

Facebook merupakan salah satu jejaring sosial yang digemari masyarakat kebanyakan. Ia seakan makanan wajib bagi orang-orang. Barangsiapa belum memiliki akun ini rasanya kurang mantab menjalani aktivitas sehari-hari.

Jejaring sosial ini memiliki fitur lengkap daripada lainnya. Ia memungkinkan kita untuk menambah dan menyimpan berbagai informasi atau identitas tentang kita. Mulai dari biodata, tempat untuk mengutarakan pendapat (baca: wall) hingga layanan mengarsip foto-foto. Seiring berjalannya hari bersamaan dengan aktivitas kita, mau tidak mau merangsang orang-orang untuk meng-update terus informasi tentang diri di dalam akun FB masing-masing.

Foto Profil Cerminan Diri
Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "photos" : Cahaya dan "Grafo" : Melukis/menulis.) adalah proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya. Istilah umumnya, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat.

Dunia ini sudah semakin canggih. Teknologi-teknologi paling anyar dihasilkan. Hubungan komunikasi lebih gampang. Memungkinkan kita untuk memperpendek waktu dan jarak. Rasa kangen seseorang terhadap seseorang lainnya kini tidak lagi harus ditempuh susah-susah. Hanya dengan mengakses internet, memiliki akun FB, dan berselancar di dalamnya, kita, setidaknya telah mengobati kerinduan yang mengendap.

Handphone berkamera, DSLR, smartphone, dsb yang dimiliki oleh para masyarakat Indonesia benar-benar dimanfaatkan dengan baik disini. Dengan alat-alat ini, seseorang dengan mudah mengambil gambar dengan segala pose dan latar belakang. Penggunaan teknologi perekam yang canggih tidak disia-siakan, apalagi oleh anak-anak muda jaman sekarang.

Keadaan ini mempengaruhi gaya hidup dan berpakaian anak-anak muda. Agar terlihat seperti yang dicitrakan akun FB-nya, mereka berusaha tampil modis dan selalu update fashion hari ini”. Juga dalam berperilaku terkadang mereka terkesan memaksakan – menempelkan – citra gambarnya.

Foto profil seseorang di akun FB juga bisa menjadi pusat riset kecil-kecilan. Foto profil ini juga dapat memberikan kesimpulan kecil karakter seseorang. Dengan melihat “penampakan” gambar seseorang di akun FB seseorang, kita mengamati dan mencermati – mereka-reka – sifat atau kehidupan orang yang di investigasi.

Tetapi, di dalam facebook, kita tidak boleh secara instan dan mutlak melakukan justifikasi ataupun proses pelabelan. Disini kita tak bisa sepenuhnya mengetahui isi kepala seseorang tanpa melakukan proses dialog. Namun, secara garis besar, pemikiran seseorang itu dapat dilihat dari ideologi visualnya – meminjam istilah John Fiske.

Menurut pengamatan saya, visual seseorang di dalam FB sangat mempengaruhi orang-orang untuk mengunjungi akun FB-nya. Tetapi tidak semata-mata faktor fisik saja – walaupun ada orang-orang yang secara tegas memakai faktor ini dalam melakukan komunikasi – ada juga seseorang tertarik dengan foto-foto aktivitasnya.

Album foto, adalah yang sering dikunjungi orang-orang jika mengakses FB. Alasannya sederhana, proses pengenalan via dunia maya tidak hanya sebatas nama, tetapi juga harus memajang atau melihat foto seseorang. Dengan rumus ini, foto disini menjadi hal vital dalam mempengaruhi orang berkomunikasi.

Foto Pemicu Kreatifitas
Secara mendalam, foto profil facebook atau kumpulan-kumpuan foto yang di upload merupakan obat penumbuhkembangan ide. Dalam hal ini merangsang ego kita untuk bergerak. Ego untuk berusaha menyaingi sesuatu yang dilihatnya – visual foto. Rasa tidak mau kalah, dalam artian positif, muncul begitu saja ketika kita “mengunjungi” akun FB seseorang.

Seperti yang saya kemukakan diatas, zaman teknologi sekarang telah mempengaruhi kehidupan anak muda. Mulai dari gaya berpakaian, kebiasaan, maupun ideologi pikirannya. Facebook adalah salah satu alat indikasi untuk mengetahui sifat-sifat orang. Juga merupakan sebuah media penumbuh kecemburuan yang ampuh.

Bagaimana tidak? Banyak orang yang tergerak hatinya untuk lebih menunjukkan siapa dirinya setelah “berselancar” di FB. Dan berlomba-lomba untuk meng-upload sebanyak-banyaknya foto dirinya atau bersama kawan-kawannya. Tak lain dan tak bukan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya ada. Eksis.

Bukti eksistensi yang berupa foto di dalam FB semakin menjadi-jadi. Sekarang, tidak sahih rasanya jika jalan-jalan tanpa potret-memotret. Tanpa mendokumentasikan acara.

Tetapi, jika kita terlalu berlebihan dalam menerima produk budaya ini akibatnya fatal juga. Meng-upload foto paling pribadi, menulis segala informasi yang bukan konsumsi publik, dan menginformasikan secara serampangan perihal pribadi kita mengakibatkan image buruk bagi kita. Dan lebih parah jika kita meng-upload yang bukan milik kita dan bersifat rahasia, bisa-bisa kita dituntut atas dasar pencemaran nama baik seseorang. Tapi apakah itu akan terjadi? Mungkin ya, mungin tidak. Tergantung keseriusan calon pelapor sih.

Facebook – yang merupakan produk budaya asing - dengan segala fitur, manfaat, dan dampaknya sudah menjadi “kebiasaan” baru di masyarakat. Kita tak perlu ketakutan dan lari tunggang langgang. Yang kita perlukan adalah mencermati dan membuat celah. Menjadikan facebook museum arsip pribadi atau sekedar pasar malam semata. Tetapi yang pasti, jangan sampai kita diperalat olehnya. Apalagi menjadikannya semacam sesembahan di dunia.

Sekian!

Kotak Ajaib Keluargaku


Kotak ajaib itu bernama televisi. Kotak berwarna berisi gambar-gambar gerak. Berisi dialog dan pergerakan-aktivitas manusia. Baik yang direncanakan ataupun tidak. Dia menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan oleh manusia di muka bumi.

Televisi. Dunia khayalan bagiku. Kehidupan ideal yang ku idam-idamkan. Menjadi seperti aktor di dalam film-film televisi. Punya pacar, ganteng, dan kaya raya. Berkenalan dengan gadis, tanpa proses panjang dan dengan gampang langsung menuju ranjang.

Atau, kubayangkan diriku menjadi seorang anak band. Tanpa proses panjang dan dengan lagu-lagu pop romantis membius para gadis dan menjadi terkenal. Memakai pakaian dan gadget mahal produk asing. Membelanjakan uang bersenang-senang di kafe elit atau menghabiskan malam bersama gadis sewaan di diskotik bangsawan.

Enaknya menjadi masyarakat televisi, ingin ku hidup di dalamnya. Mencari banyak gadis lalu menikahinya, menjadi poligami tanpa ada tendensi kaum-kaum agamis. Sesudahnya membuat rumah diatas gunung, untuk kesehatan anak-anakku yang banyak, dan keturunan-keturunanku, nantinya akan menurunkan dinasti-dinasti dari seorang ayahnya yang bijak nan rupawan seperti pangeran Inggris.

Hidup tanpa agama juga bisa di dalamnya. Tidak ada aturan tumpang tindih. Bebas-sebebasnya tanpa dogma. Juga tak perlu repot membelanya mati-matian sampai mati, sampai perang. Dengan hidup sebebas-bebasnya tanpa batas, aku bisa hidup tenang mencari tempat tinggal di sudut kota Palestina ataupun Israel.

Hidup bebas. Hidup luang selamanya. Uang tiada habis. Aktivitas tiada mengikat. Aku benar-benar dapat berjalan-jalan kemana saja. Melintasi benua, mengarungi laut. Menembus hutan, mendaki gunung ke banyak penjuru negara. Lalu menyelam ke kedalaman paling dalam lautan-lautan di berbagai laut. Menjadi MAPALA sesungguhnya!

Tapi itu semua hanya khayalan, Cuma imajinasi saja. Khayalan jika benar-benar masuk ke dalam dunia televisi. Hidup didalamnya.

Itu semua tidak mungkin terjadi. Saya hanya melakukan pengandaian dan menelaah bagaimana dampak terlalu banyak menonton acara-acara televisi. Orang-orang cenderung tersugesti, hati terasa didorong tidak sadar setelah selesai menonton acara-acara kotak ajaib itu. Tergerak untuk melakukan apa-apa yang dilihatnya dari televisi. Terngiang terus di kepala apa-apa yang dilihatnya di televisi.

Tetapi tunggu dulu, terlalu banyak menonton acara-acara televisi yang bagaimana dulu? Tentu jika terlalu banyak tontonan positif maka baik-baiklah orang itu. Tetapi jika sebaliknya? Mungkin baik, mungkin tidak. Tergantung moral bagaimana yang orang itu punya.

Baik buruknya kualitas program televisi, menurut saya, bukan berdasar dari pendapat orang per orang. Program televisi, baik-buruk, dapat dicari menurut konteks waktu. Maksudnya begini, anak-anak tidak mungkin menonton acara dewasa – seperti talkshow hubungan istri-suami – pada dini hari. Seharusnya anak-anak sudah tidur saat itu. Menurut waktu, acara itu dikhususkan untuk umur diatas 17 tahun alias sudah akil baligh. Tapi masalah selanjutnya adalah, siapa yang harus bertanggung jawab? Orang tua? Apa pihak televisi yang seharusnya disalahkan?

Apakah acara tinju baik bagi anak-anak? Apakah acara talkshow baik bagi anak-anak? Apakah acara yang berbau seks dan kekerasan baik untuk anak-anak? Dll. Semua kembali kepada pengawasan dan kontrol waktu yang ketat oleh pihak orangtua – solusi terakhir ketika KPI hilang keberaniannya.

Di posisi seperti ini, televisi selalu dikambinghitamkan. Dan dengan kejadian seperti ini televisi sampai detik ini, oleh para kaum intelektual dan akademis selalu menjadi objek kesalahan. Padahal, pihak orangtualah yang menurut saya bertanggung jawab jika ada suatu persoalan seperti diatas.

Pernyataan bahwa dewasa ini program-program televisi tidak bermutu adalah sesuatu yang salah kaprah dan hanya mementingkan satu sudut pandang saja. Tidak berpikir zig-zag – meminjam istilah CakNun – alias mempunyai sudut pandang banyak. Memikirkan lebih dalam lagi isu-isu mengenai televisi ini adalah hal mutlak bagi para akademisi. Tidak terkecuali saya.

Coba kita amati perihal apa dan bagaimana pendapat orang-orang mengenai tayangan sinetron. Pernahkah pada jam-jam penayangan sinetron kalian amati dan cermati di setiap sudut rumah ataupun warung-toko di setiap penjuru kota maupun tetangga-tetangga kalian yang menonton sinetron? Atau pernahkah kalian memergoki ibu kalian menonton sinetron?

Lalu coba ajak dialog mereka. Tanyai pendapat mereka tentang sinetron. Hasilnya pasti mengejutkan kalian, diluar ekspektasi kita. Jujur, saya tidak tertarik sama sekali dengan sinetron, tetapi harus diakui pula bahwa untuk sebagian ibu-ibu dan anak-anak, sinetron menjadi tayangan favorit. Kenapa? Kebanyakan para ibu mudah mencerna tayangan itu karena alur cerita yang ringan dan sederhana.

Inilah fakta. Tidak dapat dipungkiri. Sinetron telah menjelma menjadi sebuah kerajaan megah namun merakyat. Dan menjadi arena rekreasi akibat keresahan dan kesusahan ekonomi yang terus menerus melanda rakyat kecil. Lalu, apakah kita masih setia memakai satu sudut pandang? Dalam hal ini sudut pandang subjektif kita?

Televisi merupakan karya yang luar biasa hebatnya di dunia. Penemuan televisi mengakibatkan kemajuan yang luar biasa bagi peradaban manusia. Sistem komunikasi dan informasi tidak lagi dilakukan dengan cara-cara kuno. Hanya dengan mengakses internet, handphone, atau melihat tayangan program televisi, semua informasi dan komunikasi dapat dengan mudah diterima.

Tetapi jika tidak hati-hati dapat pula manusia terjerumus ke dalam efek-efek negatif penggunaan teknologi elektronik tersebut. Penggunaan secara berlebihan tanpa aturan menyebabkan manusia lupa akan peran sosial di masyarakatnya. Penggunaan teknologi elektronik dibutuhkan strategi khusus untuk menciptakan hubungan yang baik antara manusia dan barang-barang elektronik tersebut.

Di dalam keluarga saya, kotak televisi ditempatkan di ruang keluarga. Fungsinya adalah agar mudah diawasi dan mudah dikontrol. Menonton televisi dilakukan setiap hari oleh setiap anggota keluarga. Menonton televisi secara bersama-sama tidak wajib dilakukan di keluarga saya, karena setiap pribadi mempunyai kesukaan yang berbeda. Tidak mungkin dipaksakan. Bapak, Ibu, Kakak, Adik, dan saya memiliki program acara favorit sendiri-sendiri. Terkadang waktunya bentrok untuk melihat acara favorit setiap pribadi. Yang akhirnya hanya berujung pertengkaran dan niat untuk menonton hilang begitu saja.

Televisi adalah simbol toleransi, hemat saya. Televisi ditempatkan di ruang keluarga bukan tanpa sebab. Di ruang keluarga selalu tercipta suasana hangat dan ruang-ruang diskusi. Disitu televisi mempunyai peran penting. Tayangan yang ditonton mencerminkan diri kita. Mencerminkan sikap dan perilaku kita di luar rumah. Mencerminkan pula bahan pelajaran apa saja yang didapat di luar rumah. Secara otomatis tayangan televisi setiap pribadi akan berbeda. Itu dipengaruhi juga dengan lingkungan pergaulan sehari-hari kita. Dan dengan perbedaan itu semua, apakah kita sanggup untuk hidup rukun dan saling menghormati?

Sekian.