Senin, 12 Maret 2012

Malam Perayaan

Entah kenapa aku punya nama seperti sekarang ini. Dulu sempat kutanyakan arti nama ini ke Bapak. Tapi ia belum mau memberikan jawaban pada waktu itu. Beliau bilang, aku belum cukup umur untuk paham makna dari namaku. Katanya sih, terlalu berat dijelaskan untuk anak yang masih berseragam SD. Bapak berjanji, jika suatu saat nanti ia akan memberi tahu perihal apa saja dibalik namaku. Tapi tidak saat itu. Dia juga akan membawaku jalan-jalan ke tempat dimana ia mendapatkan inspirasi saat menamaiku . Alias napak tilas ke daerah-daerah yang Bapak kunjungi sebelum menemukan sebuah nama yang pas. 
Aku semakin penasaran terhadap kata ini. Keluarga besarku masih memelihara baik tradisi jawa. Khususnya dari garis Bapak. Tak terkecuali hal penamaan orang. Dari dahulu sampai sekarang mereka memegang teguh penamaan seseorang memakai kata-kata jawa. Dalam tradisi jawa penamaan orang memiliki makna khusus. Selain sebagai media pelestarian tradisi, nama adalah simbol lain dari doa dan harapan orangtua kepada si anak. 
Pemberian nama berkaitan dengan weton atau hari lahir, bulan, neptu, dan harapan orang tua. Dengan nama yang diberikan, si anak diharapkan menjadi apa yang terkandung dalam namanya. Orang jawa juga percaya, jika tidak hati-hati dan tidak tepat memberikan sebuah nama, si anak akan selalu sial dan tidak mujur. 

---

Pemberian nama seseorang dilakukan saat upacara selametan lima harinya sang anak yang baru lahir. Bapak mendadak sibuk jika hari selamatan itu mendekati hari puncak. Rumah menjadi ramai dan ruangan seakan menjadi sempit. Aku masih ingat, rumah tiba-tiba menjadi pasar kaget. Puluhan orang sibuk ngobrol di ruang tamu. Para anak-anak menikmati makanan sambil berlari-lari, dan halaman rumah yang sesak dengan tronton dan si pitung. 
Ternyata lurah desa sebelah baru saja memiliki seorang anak. Ia mendatangi Bapak untuk dimintai nasihat wejangan mengenai nama baik bagi anaknya. Aku duduk disamping Bapak. Menemaninya mengobrol dan bosen juga. Apalagi bau keringat yang bercampur manusia-manusia sebegitu banyaknya dan wangi kemenyan dari kretek para orang tua membuat mataku linglung. 
Walaupun suasana malam itu begitu chaos tapi hingga detik ini masa lalu itu selalu mengasyikkan untuk diingat lagi. Pukul 3 pagi, Bapak selesai rerembug dengan keluarga yang bersangkutan. Sudah ada nama yang disepakati. Tinggal pendeklarasian nama pada esok harinya saja. Aku heran terhadap Bapak, ia hanya seorang biasa, tidak kyai, lurah, dukun, ataupun pak haji. Tapi mengapa, orang-orang ingin Bapak menamai anak-anaknya.
Kami hidup di rumah peninggalan kakek. Rumah model jawa yang sudah berusia senja. Alas ubin dari tanah dan pekarangan rumah yang dipenuhi pohon-pohon rindang membuat aku betah disini. Apalagi dengan pendopo yang cukup besar kujadikan ia tempat bermain setiap hari. Nyaman dan tenteram hatiku gara-gara si rumah tua itu. Kami hidup dengan bayaran seikhlasnya dari orang-orang yang meminta nama ke Bapak. Bapak tidak menghiraukan besaran rupiah. Berapapun dapatnya ia selalu menerima tanpa bersungut. Ibu juga tidak mengeluh.Yang penting bagi Bapak adalah bisa membantu orang-orang dan menjalin silaturahmi kepada siapa saja. Walaupun tidak ada penghasilan tetap kami tidak merasa kekurangan sedikit pun. Malahan sebaliknya. Tidak ada bentak marah di dalam rumah. Semuanya senang semuanya menang.
Janji Bapak ternyata cuma sekedar kata-kata. Bapak telah ingkar. Aku sedih terhadap. Ia meninggal sesaat setelah menerima penghargaan bidang tradisi budaya di tempat ia dulu berkuliah. Ibu sempat melarang Bapak pergi. Sebelum berangkat Bapak mengeluh pusing. Ia memang sering diserang pusing. Sakitnya tidak pernah dirasakan. Tidak juga mau untuk diperiksakan dokter. 
Bahkan, dalam keadaan pusing, masih bisa melayani tamu-tamu yang datang ke rumah. Bapak membawa pusing dalam obrolannya. Pusingnya juga yang menemani Bapak sampai dini hari datang menggantikan aku yang kandas oleh kantuk. Penyakitnya setia padanya. Pusing telah menemani dan mengantarkan Bapak pada Sang Hyang.
Ia dikubur tepat di samping kuburan kakek. Makam keluarga yang terletak tidak jauh dari rumah saat itu sangat ramai. Sebagian besar orang-orang yang datang asing bagiku. Mereka mungkin sanak keluarga dari sanak keluarga orang-orang yang datang ke rumah untuk meminta nama anak-anaknya kepada Bapak. 
Rumah juga tidak kalah padatnya, sampai malam banyak para takziah datang silih berganti. Orang-orang banyak memberi riasan bunga dan beribu-ribu amplop yang belakangan aku ketahui kalau di dalamnya berisi uang. Tepat pada jatuhnya rezim orba ia meninggal dunia. Di hari kematiannya ternyata juga terjadi kejadian yang sangat penting di Indonesia pada saat itu. Kejadian yang mengubah keadaan negara sampai detik ini. Dari orba ke era jaman reformasi –katanya. Setelah 32 tahun berkuasa Suharto tumbang di tangan para mahasiswa-mahasiswa. Digantikan reformasi untuk berkuasa sampai saat ini. 
Maka dari itu peristiwa kematian Bapak bisa kuingat sampai detik ini. Mengetahui tragedi 1998 membuat perasaan ingin tahuku menjadi-jadi. Aku semakin penasaran tentang Suharto. Apalagi di hari itu yang diturunkan paksa juga bernama Suharto. Aku bertanya kesana-sini. Orang yang paling sering aku tanyai adalah guru sejarahku. Sering aku pergi ke ruang guru untuk menemui rasa ingin tahuku. 
Ternyata rasa ingin tahuku tidak kutemukan disana. Walaupun aku tahu siapa Suharto yang satunya tapi untuk yang satunya aku bertemu dengan kekecewaan. Muncul pertanyaan di dalam hati jika kusangkut pautkan dengan raja pelita itu, apakah Bapak dulu memberiku nama itu agar aku menjadi presiden seperti dia? Atau mungkinkah Bapak menginginkan aku menjadi seorang militer? Atau dua-duanya? Akh, mana mungkin Bapak menginginkan anaknya turun tahta dengan rasa kemaluan yang begitu sangat gara-gara sikap senjataismenya? 
Guru sejarahku selalu kujadikan kambing hitam jika pertanyaan-pertanyaan itu muncul kembali. Lama-kelamaan aku memaklumkan dalam hati dan memaafkannya. Aku baru sadar ia bukan sejarawan tapi cuma seorang guru.
Sebulan setelah kematian Bapak aku sering melamun. Itulah yang biasa kulakukan jika ada masalah. Entah kenapa jika melamun perasaanku menjadi tenang. Kubiarkan pikiran liar pergi kemanapun ia mau. Tak kupaksakan imajinasi untuk condong kearah yang kumaui. Biar ia pergi mencari solusi sendiri. Biar rasa ingin tahu mencari sumber ingin tahunya sendiri. 
Kunikmati teman-teman khayalku bermain-main di sini –di alam pikirku, dengan seperti itu perasaanku lambat laun tenang dengan sendirinya. Apalagi jika lamunanku sudah sampai titik klimaks, seperti ada energi semangat untuk tidak menyerah. Seperti ada aku bentuk kedua yang memasuki jiwaku. Ada keberanian. Berani untuk berjuang dan tak kenal lelah. Dalam konteks ini, aku tidak boleh menyerah mencari tahu siapa aku dan segala informasi tentang aku. 
Tepat tengah malam energi itu datang dan aku tersentak sadar. Aku sudah menemukan sumber kegalauanku selama ini. Sumber pengetahuan atas namaku itu hidup di dalam Ibu. Selama ini aku tidak menyadari bahwa orang paling dekat dalam hidupku malah tidak kumintai nasihat dan informasi tentang makna namaku. Tengah malam lewat yang dramatis, setelah menyadari Ibu-ku telah ku acuhkan, aku tak lupa untuk menggoblok-goblokkan diri. Goblok! Goblok! Goblok! 
Tanganku memukul wajahku berkali-kali dan teriakan goblok mengiringi secara bersamaan. Pagi itu sangat melelahkan. Wajah yang lebam karena dan pikiran-pikiran yang bermain sampai sangat puas. Aku merebahkan badan, entah dimana itu, aku langsung tidur tak menghiraukan bersih-kotornya tempat. Melamun, masturbasi yang tak kalah nikmat, seperti bercinta tapi dengan ribuan penghuni alam imaji, pernyataan terakhir sebelum memejamkan mata.

---

Di terang kelap-kelip lampu komidi putar Ibu menerangkan perihal makna di balik namaku. Duduk dibangku ruang tunggu dan satu bungkus sate gajih menemani Ibu berbicara. Aku mendengarkan cermat sambil mengunyah-ngunyah sate hemat karena tak kunjung tertelan. Sate ini tidak membuat ngantuk. Makanan ini pas bagi orang pendengar sepertiku. 
Memang asyik jika ngobrol bersama sate gajih. Mendengarkan omongan Ibu tanpa jeda sedikitpun memaksaku untuk mengikuti gerakan bibirnya. Ke kanan ke kiri tanpa kedip kuikuti mulut Ibu. Jika Ibu mengambil nafas tak kusia-siakan kesempatan itu, aku kedipkan mata berkali-kali dan menelan gajih yang sudah hambar. Lalu kumakan lagi tusukan daging yang tersisa. Aku biarkan dulu mengapung di air ludahku dan kalau Ibu memulai bicara baru kukunyah pelan-pelan lagi. 
Beruntung aku membeli sate gajih. Rasa ingin tahu yang mengakar sejak dulu ternyata menghasilkan juga. Selain enak ia juga bisa menjadi pengganti kopi. Atau bisa juga menjadi teman saat kita sedang menunggui seseorang. Tidak keren kan kalau sedang menunggui seseorang tapi kita mendadak salah tingkah atau bermuka ndembik. Sate gajih solusinya! Kunyahlah sate gajih biar orang-orang mengira kita tidak kurang kerjaan. 
Satu putaran lagi giliran kami. Ibu belum sepenuhnya selesai. Tapi yang lebih parah, sate gajih sudah habis. Tidak tersisa sama sekali –kecuali daun pisang dan kertas koran. Niatku membeli tertahan oleh rasa tidak enak kepada Ibu. Aku tidak mau memotong pembicaraan Ibu. Aku kembali fokus ke bibir Ibu tanpa ada apa-apa di mulut. Betul seperti dugaanku, rasa kantuk mulai menjalar. Mata sudah benar-benar sipit. Anggukan kantuk kubuat seakan-akan menjadi anggukan kepala yang mengiyakan omongan Ibu supaya ia tidak tersinggung. 
Setelah dua-tiga kali anggukan kamuflase itu, akhirnya penderitaanku usai. Giliran kami tiba. Ibu menyilahkan aku naik duluan. Dan komidi putar pun berjalan. Beberapa putar membuat aku sedikit pusing. Aku hampir muntah gara-gara mesin sialan ini atau gara-gara sate gajih tadi? Aku tidak tahu persis. Untung saja pikiran hampir muntah ini tidak ku kasih perhatian, jika ya, mungkin orang-orang di bawahku mengira kalau Tuhan juga makan sate gajih. Putaran terakhir membawaku ke pusat segala rasa ingin tahuku. 
Ibu membisikkan sesuatu. Sambil merapikan letak rambutku yang ngawur, ia berucap pelan dan meyakinkan. Bau mulut Ibu menyebar kemana-mana. Baunya seperti wangi pakaian yang direndam berhari-hari. Atau tidak tahu apa namanya bau itu. Susah juga kalau mendeskripsikan sesuatu jika dalam satu kondisi terdapat peristiwa dan suasana yang sangat kontras, bau mulut Ibu dan kabar gembira yang datang dari mulutnya.
Aku gembira mendengar penjelasan Ibu. Akhirnya kutahu juga arti namaku. Mesin putar kami tinggalkan, sebelum pulang Ibu mampir ke lapak arum manis. Tahu benar Ibu yang kumau. Kulahap arum dengan cepat dan tak akan kusisakan manis dalam bungkus bergambar power ranger. Di bawah lampu sorot alun-alun utara sudut tenggara tiba-tiba aku merasakan sesuatu dalam perut. Ada bunyi-bunyi aneh di dalam perut. Di dalam, bukan terus keluar, beda dengan kentut. Aku tak kuat menahan sakit. Kupegangi era dan umpatan keluh keluar dari mulut. Ku tekan perutku sangat keras, untung tidak di depan cermin aku merasakan kesakitan yang hebat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajah jelekku saat itu. Aku pun muntah. Kulihat air coklat bercecer dimana-mana. Kulihat pula air berwarna merah muda tapi tak dominan. Mereka bercampur dan membuat warna gradasi yang indah. Menawan! Tapi baunya, jauh lebih buruk dari bau mulut Ibu. Inilah akibat orang yang rakus, gumamku. 
Dari belakang Ibu memijat punggung leherku dengan pasti. Aku bersendawa dan hanya meneteskan air mata. Menahan semua kesakitanku sekaligus tertawa dalam hati, entah apa jadinya jika aku jadi muntah di atas komidi itu. Sekali lagi malam itu merupakan malam yang berkesan. Malam indah di sekaten memang bikin kangen. Entah bagaimana dengan Ibu. Aku tak tahu pastinya. Yang jelas, perasaanku sangat senang, sekaligus lega. Janji Bapak dulu sudah kucabut dalam diri. Janjinya telah terbayar, walau tidak lewat ucapannya.
Di dalam tempat tidur, tiba-tiba bau muntah samar-samar menuju hidung. Aneh saja tiba-tiba muncul bau busuk di ruangan tidur. Baju sudah berganti, celana sudah ku lucuti. Masih saja baunya tidak menghilang. Malahan bau itu semakin mengejekku. Aku dipaksa main petak umpet dengannya. Mondar-mandir di dalam kamar dan mencari-cari bau tak sedap itu. Hidungku mulai tak sabar, ia memburu sampai di sudut-sudut kasur. Menciumi semua permukaan lantai bahkan permukaan dinding-dinding kamar. Semua barang dan segala sudut tempat telah dijamahnya. Tetap saja tak ketemu. Pintar benar ia bermain. Aku semakin tertantang. Ku ubah pola pandangku seperti orang yang juga bermain petak umpet. 
Setelah bersatu padu dengan keyakinan dan perasaan, aku menjerit keras padanya untuk berduel di luar rumah. Keluar kau! Aku sudah diluar rumah. Tepat di antara pohon sawo aku tegak berdiri. Aku fokus ke satu titik pandang. Kukerutkan mata hingga di tengah-tengah kedua mataku memberat. Aku berdiri khusyuk di bawah mendung malam dan desir angin yang menggebu-nggebu. Dengan mata terpejam dan pengaturan nafas sesuai ritme, aku mulai mendeteksi bau itu. Aku berdiam sangat lama. Suara-suara binatang malam mengimbangi bau busuk yang dari tadi berkeliaran. Aku tenangkan perasaan, kuelus-elus lembut emosi yang sedari tadi tidak sabar untuk dimainkan. Ditengah-tengah konsentrasi,     tiba-tiba ada sesuatu bergerak dari belakang. 
Saat yang bersamaan bau itu juga mulai mendekat. Aku merinding. Menggigil ketakutan. Badanku bergetar semrawut. Aku ketakutan. Sangat takut! Ketakutanku bertambah kencang ketika seluruh badan terasa ditiup oleh sesuatu di belakangku. Tiupannya menggigilkan tangan, kaki, mulut, dan seluruh anggota raga yang dari tadi belum kusebut. Aku tak bisa apa-apa lagi. Jika bisa berlari aku akan tunggang langgang dari sini. Jika bisa berantem aku akan menghajar entah siapa namanya itu. Ia bergerak lagi mendekat, meniup-niupkan angin busuk, pelan tapi horor. Ia semakin dekat. Suaranya semakin jelas. Suara langkah yang menderap kasar dan hembusan nafas yang terdengar seram. Aku ingin pergi dari sini. Ingin sekali menyudahi permainan ini. Sudahlah aku mengaku kalah! Aku menyerah telak! Aku heran,  kenapa aku tak bersuara. Hanya mulutku yang komat-kamit tak jelas. 
Sekarang aku tak bisa bergerak sama sekali. Menggerakkan satu jari saja tidak bisa. Aku berontak liar dan paksakan seluruh tubuhku bergerak. Tetap saja percuma dan semakin banyak usahaku untuk keluar dari siksaan ini makin membuat tekanan ini bertambah kuat pula. Aku berusaha menenangkan diri. Ku coba atur nafas lagi. Dalam arus nafas aku ingat petunjuk Bapak, bahwa jika dalam kesulitan apapun jangan lupakan Tuhan, ingatlah kepada Tuhan. Dengan modal ingatan, aku mulai percaya diri. Ku pupuk keberanian pelan-pelan dan mencoba mengingat hafalan ayat kursi. Setelah yakin dan mantab, sedikit demi sedikit kulafalkan dalam hati, sebelum mendekati ayat akhir aku berontak dengan keras. Mencoba menggerakkan semua anggota tubuh. Tapi sia-sia. Tidak juga bisa bergerak. Masih tetap menjadi patung. Aku tidak menyerah, di dua kata terakhir ayat aku menghimpun kekuatan lagi. Dengan niat dan tekad yang kuat, sekali lagi aku menggerak-gerakkan badan. Aku berontak lagi. Dan akhirnya … Plok! Aku berhasil memukul sesuatu yang dari tadi mengintai dari belakang. Aku bangga sekali dapat memukulnya. Aku tertawa. Tertawa sangat keras dan lantang. Sambil berkacak pinggang aku pun dengan wibawa tinggi menoleh ke belakang. Dan, loh…loh...loh… kenapa ada istriku disini.
“Aduh! sakit mas”
“Ehm, tidak sengaja dik, maaf maaf”
“Melamun lagi ya mas? Jangan keseringan melamun, nggak baik lho mas… mas, coba deh liat, candi itu bagus ya, apalagi jika dilihat malam hari, aku senang mas, kamu ajak aku kesini”
“Oh iya dik, iya....”
Hanya itu yang terucap dari mulutku. Tingkahku menjadi aneh dan sedikit gelisah. Aku bingung hendak apa terlebih setelah dikagetkan istriku yang serba tiba-tiba. Langsung kuhadapkan muka ke arah yang ditunjuk istriku. Sebuah candi peninggalan kerajaan hindu terbesar. Candi tinggi dan megah di depan sana kupandangi terus. Kujamah ia dari dasar hingga puncak candi. Lalu istriku memanggil lembut.
“Mas?
“Ya?”
“Terimakasih banyak yaaa”
“Buat apa dik?”
“Buat semua …. buat suasana dan pemandangan ini”
 “Maaf dik… aku cuma bisa ngasih ini… di hari spesial kita…”
“Maaf? Siapa yang salah mas? Nggak ada yang salah kok, nggak perlu minta maaf segala”
“Bukan begitu…. Aku belum bisa membahagiakanmu. Aku belum bisa menjadi suami yang baik buatmu dik”
“Maksud mas?”
“Aku ini seorang pengangguran. Kepala keluarga yang nggak bisa apa-apa buat istrinya. Aku takut kalau suatu saat nanti nggak bisa membahagiakan kamu dik”
“Jangan ngomong gitu mas, ntar kalo diaminin gimana? Kita ini sepasang suami istri, mas. Kalo udah jadi pasangan aku sama kamu nggak bisa bekerja sendiri-sendiri. Aku sama kamu adalah tunggal, satu. Apa-apa ya dikerjakan bareng. Apa-apa ya diselesaikan bareng. Selama ini aku bahagia mas. Tidak ada kekurangan apapun dalam hidupku. Sekarang aku tanya mas, apa aku tak terlihat bahagia didepanmu?”
Pikiranku semakin tak karuan. Istriku ini terbuat dari apa sih. Apa dia bukan makhluk bumi? Kok bisa-bisanya masih bisa setia dan sayang sama aku. Cari pekerjaan saja masih susah. Kendaraan masih sepeda onthel milik Bapak. Rumah masih numpang Ibu. Bahkan untuk membelikanmu tiket pertunjukan di tempat ini untuk hadiah pernikahan saja tidak sanggup. Tapi kenapa Istriku sabarnya melebihi sabarnya orang kebanyakan. Sabarnya ini keterlaluan.
            “Mas, jawab pertanyaanku!”
Aku mendengar suara itu. Tapi aku pura-pura tak mendengar. Aku pura-pura melamun di depan wajahnya. Sebetulnya aku bukan melamun tapi memandangi wajah Istriku. Aku ingin memandangi wajah perempuan yang menyayangiku apa adanya. Selamanya.
“Mas, aku mencintaimu apa adanya. Aku menyayangimu sampai kapan pun. Jangan lagi memohon maaf padaku. Kamu yang terbaik mas!”
Aku terperanjat kaget. Terenyuh hatiku mendengar jawabannya. Perlahan ku dekatkan badan ke arahnya. Lalu kucium kening istriku dan kurasakan rasa tulus pada hangat kening. Mataku terpejam. Dia juga. Kita sama-sama memejam. Dalam kehangatan malam ini aku mendadak senyum. Ternyata makna namaku bukan itu. selama ini aku salah mengartikan. Harto yang dimaksud Bapak bukan berbentuk benda atau segala hal material. Ia berwujud kebahagiaan. 
Jadi, dalam rangkuman akal pikir, Suharto itu artinya anak yang berlimpah kekayaannya, bukan uang tapi kebahagiaan. Uang tanpa kebahagiaan mana mungkin bisa bahagia. Uang tak dapat dicari jika kita tak bahagia. Salah satu kebahagiaan yang kumiliki sekarang adalah gadis yang ku cium malam ini. Dan salah duanya antara lain sifat rasa ingin tahuku yang berlebih yang ditularkan oleh Bapak. Sebuah pelajaran luhur dari nilai-nilai jawa malam ini, eling lan waspodo, telah menyelamatkanku dari sesat dunia. Membukakan nurani dari penjara setan-setan pikiran. Ku ucapkan syukur pada Tuhan juga pada Bapak dan Ibu yang membuat aku begini. Tanpa Ibu aku tak akan hadir di bumi dan tanpa Bapak tak mungkin ada Ibu. Begitu juga sebaliknya.
Gerimis menangkap basah kami. Membasahi sedikit demi sedikit badan. Termasuk rambutku yang klimis minyak jelantah. Ku angkat perlahan bibirku. Dan tanpa komando, kami berdua membuka mata secara bersama. Kami saling pandang. Tak ada ucap sepatah kata. Hanya saling pandang dan berbalas sayang dengan tatapan mata. Dengan menatap mata Istriku lama sekali. Malam purnama ku habiskan disini. Di bangku penonton yang panjang. Hanya aku dan istriku, mencipta obrolan dan membayangkan cerita Ramayana versi kami. Sungguh sangat romantis. Bahkan mungkin, cerita Rama-Shinta yang sering dipentaskan disini, kalah dengan kisah percintaan kami.

Senin, 05 Maret 2012

Untukmu Seorang

Sepi dan tak ada siapa-siapa lagi
hanya bau pagi dan sisa-sisa hujan tadi 
aku masih disini menemani hatiku yang sepi
apa kau juga sepi seperti ini?

dini hari telah hilang
pagi menyambut datang
akankah hatiku menang?
atau berakting untuk pura-pura tenang?

aku sendiri bingung
walau pagi telah mendengung
aku tak yakin hatiku jauh dari mendung
kamu, apa kamu juga sama sepertiku, sedang tersandung?

aku tersandung, entah apa namanya itu
dirundung resah atau setengah mati merindu?
aku tak tau ... tak tau ...
"Seseorang disana, aku merindumu ...", batinku.