Jumat, 19 Agustus 2016



:::Film Sri, sebuah film tentang Sri. Diproduksi dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah produksi televisi. Waktu produksi: Desember, 2013.

Kamis, 18 Agustus 2016



:::::::::bersama Budiman Sudjatmiko, seorang aktivis 98 yang juga ikut mendirikan PRD. Ia sekarang menjadi seorang anggota DPR dari fraksi banteng. Orangnya pintar juga cerdas tapi sayangnya, kalau ngomong bagai jet tempur, cepat dan tidak mudah dipahami. Semoga bisa berjumpa kembali dengan kopi dan gorengan panas di atas meja.

Waktu peristiwa: Januari, 2015.


:::::::bersama Seno Gumira Ajidarma dan tas putih yang digenggamnya itu adalah sebuwa gudeg. Orangnya banyak omong super kritis. Di setiap sudut jalan hampir semuanya tidak luput dari penglihatannya. Ocehannya tipikal seorang anarko. Ya, memang ia adalah seorang anarko. Ia memulainya dengan mengejek habis disain arsitektur hotel-hotel di pusat Kota Jogja disusul penempatan baliho-baliho yang semrawut, trotoar-trotoar yang tidak ramah pejalan kaki, kemacetan yang timbul dari banyaknya pemakai mobil apalagi jika satu mobil hanya diisi oleh satu orang. Sebenarnya masih banyak cerita yang ia bagi ketika itu. Tetapi apa daya, saya lupa. Sangat keras ingatan ini saya coba untuk keluarkan, ah, tetap lupa. Lupa itu sungguh menyebalkan, persis seperti luka (((LUKA))). Nah, begitulah ia bertingkah selama perjalanan dari Sewon menuju Adisucipto. Sebuwa pengalaman menarick.

Jogjakarta. Kota persinggahan. Puluhan tahun yang lalu dari kota ini ia memutuskan untuk mengembara. Berkelana melakukan perjalanan. Melakukan proses mengalami, sebuah aktivitas alamiah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan orang-orang.

Waktu peristiwa: November, 2014

Selasa, 24 Mei 2016

Zarqoni Berpulang

Matahari di utara kepala masih menyiratkan bahwa hujan tak akan datang. Musim kemarau masih panjang. Ah kapan penderitaan ini akan berakhir? Sabarlah, ini semua adalah fana. Ya. Semuanya fana. Dia. Yang fana adalah engkau, kesepian abadi.

Kehidupan asmara ada di dalam saku celana. Uang recehan dan lembar seribuan bagai hantu kelesuan. Mereka musuh yang datangnya bisa kapan saja. Dimana saja. Saku celana adalah kunci, bagaimana ia merupakan tempat kegembiraan yang bersifat sementara atau bukan. Seandainya saku celana tempat tinggal para tuyul, pasti hidup tidak semerana ini.

Setinggi langit apakah itu sesuatu yang tidak bisa digapai? Hanya orang-orang yang pernah menyentuhnya yang bisa merasakannya. Tidak terkecuali lewat mimpi. Hanya mimpi yang bisa menentramkan jiwa. Mengamankan posisi nyaman. Mimpi adalah sarana pengikat keinginan-keinginan yang belum tergapai. Bermimpilah hingga hilang sukar perihnya!

Bulan beredar dua belas kali setiap tahun. Tetapi kening juga bulan. Tahu apa itu kening? Adalah dahi seorang perempuan yang meneduhkan. Sebuah bidang permukaan kuning langsat yang selalu menanti lembutnya movement bibir. Kening itu hakiki, sebuah jalan menuju mulut Tuhan.

Sebuah kesejatian adalah yang penuh dengan rasa ikhlas. Pergerakan long shot merupakan salah satu contohnya. Memandangnya dari kejauhan, memandang wajahnya penuh takjub. Dan akhirnya, mencintainya dengan diam-diam. Rupanya, diam-diam, mencintai adalah hal yang awam. Yang bisa dilakukan setiap orang.

Tapi apa itu ikhlas? Keikhlasan harus didudukkan pada posisi yang jelas. Keikhlasan adalah sebuah manifestasi rasa yang entah dan telah diwujudkan melalui teks: keihklasan. Ketika kamu membaca ini, keikhlasan hanyalah keikhlasan. Tidak kurang dan tidak lebih. Adakah yang tahu keikhlasan yang tidak berwujud itu? Apa namanya? Simpanlah dalam hati saja.

Orang-orang terhipnotis dengan ‘aku ingin mencintaimu dengan sederhana’. Namun bingung mendefinisikan bagaimana sederhana itu. Sederhana itu sulit. Tidak gampang. Bahkan lebih sulit dari mencintaimu. Aku ingin mencintaimu. Begitu lebih indah. Cinta tanpa tendensi. Tanpa pamrih.

Di matamu, aku malu. Aku melihat aku basah kuyup. Aku telanjang bulat. Ditelanjangi matamu yang bagai gunting. Merobek masa lalu. Di matamu, aku lalu. Aku menjangkau masa kanakku. Aku polos. Ditololkan kedua orang tuaku yang bagai pemanah sakti. Menuntun remajaku dan mengatur caraku memanjat pohon. Di matamu, aku laku. Aku tahu kamu perempuan yang beruntung mendapatkanku.

“Hai Zarqoni, bangunlah dari mimpimu. Matikan televisi dan bergegaslah jogging. Ingat kata dokter, tulangmu rapuh matamu berkunang-kunang! Lekaslah bangun dan jadilah si Bung!”

Tuhan tahu bahwa Zarqoni bukanlah seorang pelesu sejati. Zarqoni hanya takut. Tuhan juga Maha Takut. Dia takut mencabut nyawanya sekarang. Tuhan pun tahu Zarqoni sedang jatuh cinta. Makanya ia tak berani mematikan Zarqoni. Tunggu dulu. Apakah dia berani menyatakan perasaannya atau tidak. 

“Jika tidak, Aku akan membuat mati kedua matanya! Ingat-ingat kata-kataku Jibril!”
“Loh kok hanya matanya? Tidak semuanya? Jiwa dan raganya? Bukankah si Zarqoni ini sudah kurang ajar. Kurang dipukul! Lihat dia, Tuhan! Hanya dipenuhi bangunan cita-cita yang terbuat dari malam! Mudah dihancurkan! Jangan hanya matanya Tuhan, cabut sekalian haknya di bumi!”

Hanya Jibril malaikat yang sangat menyayangi Zarqoni. Hanya Jibril yang mencintai Zarqoni. Tiada malaikat lain yang benar-benar menaruh perhatiannya kepada Zarqoni. Maka dikencingilah Jibril tepat di atas wajahnya oleh Tuhan. Kencing surga katanya. Kencing yang sangat harum bunga entah belum terjelaskan. Dan di bumi, itulah yang dinamakan air seni.

Maka datanglah Siti Jenar dari balik malam, Dia menghardik Zarqoni yang sedang memainkan alat kelaminnya dengan botol minuman. Zarqoni yang keenakan tiba-tiba mematung kaget. Zarqoni memegangi kelaminnya dengan kedua jempolnya. Siti Jenar menampakkan dirinya utuh. Dia turun dan meliuk bagai ular di atas kasur. Dia acungkan-acungkan jarinya ke arah kelamin, “Mandek! Mandek! Koe nek ngono terus ilmu titenmu iso ilang! Mandek!”

Zarqoni pingsan.

Matahari terbit di muka Zarqoni tepat pukul 12 siang. Dia terlihat lesu dan loyo. Hanyalah kekalahan yang dapat menyebabkan itu semua. Telah kandas pula kisah cintanya dan tidak ada satupun uang untuk mengenyangkan perutnya. Siang yang rapuh. Dunia yang penuh kemalasan. Kelesuan besi tua di kemudaannya yang sedikit demi sedikit melumpuhkan badannya. Tetapi burung-burung tidak. Burung gereja masih tetap sama. Berkicau sungguh riang, serta gembira. Masa bodoh. Pemandangan yang indah tapi.

Malam dan sore sedang berebut minta perhatian. Matahari senja seakan tak mampu meninggalkan posisinya dan malam tergesa-gesa ingin mengakhiri itu semua. Ah! Suasana itu, suasana yang ketika kau benar-benar menikmati senja. Suasana yang tak ingin kau tinggalkan. Dan waktu melambat dengan sendirinya. Tetapi ruang hatimu yang lain tak bisa membiarkan itu semua terjadi. Inginlah kau cepat malam. Mengganti sore dengan kemuraman, dengan kemurungan. Perasaan yang menginginkan keduanya menjadi satu. Menikmati semua penderitaan dan keresahan. Manusia sungguh aneh: kau juga termasuk. Orang-orang ingin tenggelam bahkan ingin binasa dalam laut yang murung, yang begitu dalam menusuk-menusuk hati, ah tetapi itu nikmat. Kau dan orang-orang lainnya, kenapa begitu suka dengan sakit? (pertanyaan buat pembaca?)

Aku kerasukan puisi. Tubuhku sekarang adalah tubuh puisi. Puisi-puisi cinta. Bukan puisi-puisi pembangunan apalagi tentang nasionalisme-kebangsaan. Ada apa dengan mereka? Sungguh merugi memasukkan puisi-puisi seperti itu ke dalam tubuh! Hanyalah cinta! Hanyalah cinta sepasang manusia yang dapat menyelamatkan kemanusiaan! Hanyalah itu! Bercintalah! Bersuka-sayangilah! Aku suka tubuhku ini. Puisi adalah muka kehidupan. Wajah peradaban. Kenapa tidak dari dulu-dulu aku mengenalmu, ya?

Zarqoni terkekeh-kekeh.

Aku harus berbuat sesuatu. Nasib bangsa ini ada di pundak orang-orang yang sedang jatuh cinta. Cuma orang-orang yang jatuh cinta yang dapat menyelamatkan kelaparan, kemiskinan, kebobrokan moral, kebodohan, kesengsaraan, dan kemunafikan. Orang-orang terpilih! Aku akan pergi. Aku akan mengelana jauh. Kudamparkan tubuhku kepada angin, kepada warna pelangi, kepada hujan, kepada awan, kepada yang memberi nafas kehidupan, untuknya aku kirimkan tubuhku ini. Kupercayakan sepenuhnya mereka membawaku. Nasib!

Kamu jangan khawatir.
Kamu duduklah di sana, seperti biasanya.
Kamu tidak perlu menangis, bahkan tidak perlu kau tangisi, dan jangan meminta maaf!
Meminta maaf tanpa sesuatu sebab yang jelas hanyalah orang-orang yang tidak berprinsip! Tidak perlu kau menjadi kalah! Kau sudah cukup dengan kesakitan yang mendera!
Kamu duduk manis saja, menungguku melamar kehidupanmu yang kacau tak tersembuhkan. Yang jelas, kau tidak usah bermurah hati lagi, karena kau tak berhak, kau cukup mengamini doa-doa yang kukirim, yang ketika kau melihat daun-daun randu tanggal dan jatuh melayang perlahan ke tanah, tersenyumlah, tersenyumlah, dengan begitu rapalan doa itu akan menjadi petir pengusir rasa takutmu akan kehidupan.

Zarqoni pergi, berlalu menembus malam pekat, menghilang bersamaan dengan desir angin bulan kemarau terakhir. 

Dia meninggalkan kita semua.