Rabu, 26 Desember 2012

Katalog : Cara Pandang Membaca Otak Seniman


Penghujung tahun seperti biasanya Yogyakarta dibanjiri oleh berbagai acara-acara kesenian berbagai macam disiplin ilmu. Diantara semua kegiatan kesenian, saya mengunjungi sebuah pameran seni rupa bertajuk “My Existence” karya Sutrisno di Bentara Budaya Yogyakarta 15 – 23 Desember 2012 dan pameran fotografi “Meminjam Mata dan Melihat Ruang” karya Fehung di Kedai Kebun Forum 20 – 15 Januari 2013. Mereka berdua sama-sama pernah menimba ilmu di ISI Yogyakarta. Sutrisno lulus tahun 2010  FSR jurusan seni murni dan Fehung lulus tahun 2012 FSMR jurusan fotografi. Mereka juga sama-sama berpameran secara tunggal di akhir tahun ini.

Ada persamaan mendasar antara karya Sutrisno maupun Fehung ini. Yaitu mereka berangkat dari pengalaman sehari-hari. Persoalan keseharian yang mereka dapat mengilhami karya-karya yang mereka pamerkan. Dua orang ini – dengan melihat  karya-karyanya, merespon keadaan sekitar yang kadang orang-orang lain mengacuhkannya. Sutrisno dengan teknik cukil dan hand colouring banyak merespon kehidupan sosial masyarakat serta masalah ataupun potret keseharian orang-orang di dalamnya. Karyanya dengan judul Together adalah salah satu yang menyentuh. Terlihat dua orang perempuan memandikan bayi – entah perempuan yang mana ibunya bayi itu. Perempuan yang satu duduk diatas kursi kecil dan satunya jongkok. Tampak pula senyum riang perempuan yang memandikan anak itu. Aktivitas itu tidak terjadi di dalam kamar mandi ataupun di dalam rumah melainkan di tengah jalan – sepertinya di depan jajaran toko atau lapak, dikuatkan dengan visual sesosok orang yang berjalan dan dua anjing di dekat aktivitas itu.

Aktivitas intim ini setidaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan pengamat politik atau ekonomi tentang dampak-akibat suasana kacau-balau negri. Yaitu mengenai suasana chaos dan antisosial, yang tidak terbukti berdampak luas. Juga membuktikan bahwa teori tidak selamanya berbanding lurus dengan keadaan di lapangan. Salah satu faktor yang menepis segala prasangka diatas adalah ikatan batin manusia, merujuk pada satu pusat kelahiran dan proses penciptaan yang sama. Deskripsi ini disimbolkan dengan seorang bayi. Bayi sebagai antitoksin supaya tidak rusuh dan terus gelisah pusing memikirkan nasib. Bayi juga simbol kehidupan bersih nan suci. Dengan melihat bayi – atau bersentuhan langsung (memandikan) orang-orang tidak lagi memandang remeh kehidupan, bahwa kehidupan layak diperjuangkan. Bahwa tidak ada gunanya berkeluh kesah apalagi hidup saling merugikan. Bayi adalah refleksi diri juga cerminan kehidupan ideal komunitas manusia global, damai dan hidup rukun. Karya diatas seakan cuek terhadap panggung retorika para politikus. Memberitahu juga bahwa media massa khususnya televisi terlalu melebih-lebihkan masalah. Hingga orang-orang yang menonton televisi merasa terancam, dibodohi, dan dihantui oleh kabar menyesatkan. Kabar yang tidak sesuai kenyataan di masyarakat. Berita tentang kerusuhan, kemiskinan, kekhawatiran, dan isu-isu provokatif yang sengaja dibuat untuk kepentingan ekonomis segelintir orang atau penguasa.

Begitu pula dengan karya Fehung. Menggunakan media fotografi, Fehung merekam dengan cahaya objek yang ditemui di kesehariannya. Ia memotret toko sandang, buah-buah, toko kijing, dan lain-lain. Tetapi yang membuat pameran ini berbeda adalah kita dipaksa untuk menjadi orang yang bersudut pandang sebagai penjaga ataupun pemilik tempat yang di potret. Dengan hanya menyisakan latar depan sebagai bingkai dan menghilangkan latar belakang foto, Fehung seakan mengajak kita berjalan-jalan di dunia imaji. Mengajak supaya kita dapat berperan dan bagaimana rasanya bukan menjadi diri kita – memposisikan diri sebagai liyan sesuai dengan profesi pekerjaan di dalam foto-foto tersebut. Mengajak kita untuk lebih mengenal sifat dan menjalin hubungan dialogis kepada sesama. Seringkali orang-orang mudah terpancing emosi gegara saling beradu pendapat. Atau yang lebih sepele lagi, orang-orang mudah marah main pukul hanya karena saling pandang. Itu tak lebih dari sifat egois manusia yang tidak menjalin dialog. Cobalah ketika kita mengedepankan dialog. Pasti segala prasangka buruk akan sirna.

Fehung dan Sutrisno sudah mengingatkan kita. Karya Fehung mengedepankan dialog dan Sutrisno yang mengajarkan melihat setiap persoalan dengan jernih dan positif. Mereka berdua sukses mengangkat tema-tema ringan dengan tidak meninggalkan esensinya. Kehidupan sehari-hari masyarakat dikemas apik dan artistik dalam kedua pameran tersebut.
Sayangnya ada satu aspek pendukung pameran yang belum digarap maksimal oleh mereka. Yakni katalog. Coba kita cemati satu per satu. Katalog mereka mempunyai format berbentuk leaflet. Satu kertas dilipat menjadi beberapa bagian. Setiap satu halaman penuh gambar maupun tulisan. Saya tidak akan mengkritisi isi di dalam katalog mereka. Bagi saya di dalamnya sudah mewakili pameran yang mereka angkat. Mengenai ideologi ataupun tujuan mereka dalam berpameran. Disini saya akan menulis sampai sejauh mana katalog mereka dapat menghidupi dan dihidupi oleh orang-orang yang memiliki, mempunyai. Artinya bagaimana katalog itu dapat berbicara sendiri diluar kegiatan pameran yang berlangsung. Dapat berdiri sendiri sebagai tangan kanan yang panjang bagi pemikiran mereka berdua. Yang seharusnya dikemas bukan saja ringan, efisien, dan hemat tetapi juga bagaimana dalam membuat katalog – dalam bentuk dan format bisa bertahan lama dan patut ditempatkan pada jajaran rak buku level atas.

Aspek fungsi katalog setelah acara pameran belum menjadi wacana yang penting. Padahal, katalog, yang mungkin tidak disadari adalah tubuh kedua yang terus hidup untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan. Seperti apa yang ditulis Mikke Susanto dalam Menimbang Ruang Menata Rupa: Katalog – kumpulan tulisan, foto, dan data arsip sebuah pameran juga tak ubahnya sebagai ruang dialog antara berbagai pemahaman yang dimiliki pembuat dan pembaca. Dari sana terbaca atau menjadi semacam peta bagi penonton agar tak tersesat dalam memahami karya seni rupa yang dipamerkan. Dan sekaligus menjadi siasat penyelenggara untuk menghindari kebekuan terhadap pencitraan-pencintraan karya dari makna dan nilai pentingnya kehidupan.

Secara keseluruhan, katalog disini masih dikemas sembarangan. Fehung memamerkan karya fotografinya. Sutrisno dengan karya seni rupanya. Tetapi dengan katalog yang sama secara bentuk dan isi, bagaimana penonton dapat membedakan dengan tepat dan jelas kedua pameran itu (ini untuk masyarakat awam). Juga saya merasa kasihan kepada katalog ini, katalog yang dikemas berukuran persegi dan dilipat sedemikan rupa menjadi beberapa bagian, yang menurut saya itu merupakan katalog yang belum matang. Ibarat benda yang belum matang, dia mungkin saja hanya tergeletak di bawah meja, dibawah tumpukan kertas-kertas gagal print, atau lebih parah di dalam tempat sampah, karena orang-orang urung merawat dan membaca arsip pameran tersebut. Katalog bisa bertahan lama di tangan kedua jika pengemasan lebih menarik. Visual yang indah nan cantik. Juga bahan kertas dan format yang memungkinkan katalog itu bertahan lama, berfungsi sebagai dokumen dan arsip pribadi.

Akhirnya, semoga wacana mengenai katalog ini mendapat respon oleh para seniman. Agar lebih digarap maksimal dan mempunyai visi ke depan. Sebagai sebuah media perpanjangan ide dan pemikiran ke sebuah tangan yang baru dan awam. Sebagai media pengingat bahwa tanggal sekian bulan sekian tahun sekian pernah diadakan pameran si x di x. Juga menjadi jendela yang di dalamnya terdapat seorang seniman yang besar karena pemikirannya. Dengan kesadaran seperti itu, tidak mungkin tidak sebuah keindahan dan kebaikan akan menyebar di hati sanubari masyarakat luas.

Selasa, 25 Desember 2012

Diam

Percakapan lalu diam.
Kau memandangku lelap.
Menyapukan senyum rindu berminggu-minggu.
Matamu yang empat kemudian menodongku
menanyakan kenapa ku pergi cepat.
Entah. Kujawab dengan diam dan meringis seadanya.
Tapi bibirmu menangkap lain: "Oh", katamu.
"Maaf, waktu itu ada acara"
"Ya, nggak apa-apa, maklum kan kamu orang sibuk"
Sebetulnya tidak ada yang lebih sibuk dan kesibukan selain mempersiapkan apa-apa untuk menemuimu.
Menyiapkan segala amunisi kekebalan mental bercakap denganmu.
Melatih cara tutur dan mengahapal kosa kata.
Merapal depan cermin guna bersiap ke medan laga: Berdialog denganmu.
"Jam malammu masih sama?"
"Ya, kenapa?"
"Besok kujemput di rumah jam tujuh malam"
"Baik, kemana kita pergi?" 
"Warung kopi yang dahulu pernah kita bahas"
"Hmmm, janji ya?"
Aku pun mengangguk. Dia pun tersenyum.
Sambil membetulkan letak kacamata, ia berseru:
"Semoga besok aku bisa menikmati kopi bersamamu"
Pecakapan lalu diam.

Minggu, 18 November 2012

Jogjakarta Pantomim Festival : Sebuah Pergerakan Baru Pantomim Jogjakarta



Jogjakarta Pantomim Festival (JPF) telah selesai dilaksanakan. Acara yang diselenggarakan pada Minggu, 4 November 2012 tepat pukul 10.00 WIB ini merupakan debut pertama kali Teater Shima dalam mengapresiasi kesenian pantomim di Jogjakarta. Bukan tanpa sebab kenapa kami melakukan pekerjaan sosial ini. JPF Berangkat dari rasa keprihatinan terhadap kesenian pantomim di Jogjakarta yang menurut pengamatan dan pencermatan bahwa bentuk kesenian ini, seiring berjalannya zaman semakin sedikit seniman maupun  masyarakat yang aktif menghidupi. Dengan adanya JPF, kami dapat mengukur tingkat partisipasi dan apresiasi seniman maupun masyarakat terhadap kesenian pantomim. Juga mengukur sampai sejauh mana peran seniman (khususnya pantomim) dalam menyebarkan dan memasyarakatkan pantomim.
Konsep awal yang sedianya menyasar kepada anak-anak tingkat menengah atas ternyata batal. Kenapa kami batalkan? Banyak alasan-alasan yang menghambat proses ini. Baik dari dalam maupun luar kepanitian. Kami tidak mengelak bahwa salah satu alasan pembatalan konsep pertama ini adalah kurang solidnya kepanitian kami. Masih banyak kekurangan disana-sini. Terlebih masalah komunikasi dan keluangan waktu. Dua segi ini yang mendapatkan perhatian besar saat evaluasi. Tetapi usaha dan perhatian rekan-rekan panitia terhadap kesenian pantomim ini patut diacungi jempol, bahkan perlu diberi penghargaan. Ini penting, kenapa? Karena sudah sangat jarang anak-anak muda yang aktif dan masuk berkecimpung mengurusi hal-hal yang berbau kesenian, khususnya yang bersifat sosial, dan juga tentunya yang mau bersusah payah membangun kembali kejayaan dunia pantomim Jogjakarta yang kini mulai melemah bahkan hampir mati. Sekali lagi, saya mengucapkan berjuta-juta terimakasih kepada semua rekan-rekan panitia JPF dengan segala keluangan waktu dan mengorbankan segala tetes keringat kerja keras dalam acara ini! Terimakasih!
Ada beberapa catatan yang berhasil dihimpun oleh tim kami sebelum menyusun kembali JPF konsep kedua. Ternyata di lapangan –dalam hal ini SMA-SMA yang tersebar di wilayah Kota Jogjakarta dan sekitarnya bahwa pantomim belum mempunyai kedudukan yang ajeg. Walaupun di seluruh SMA-SMA yang kami sasar sudah memiliki kelompok-kelompok teater. Tetapi hampir sama sekali kesenian pantomim tidak mendapatkan perhatian. Pantomim dianggap seni pertunjukan yang tidak populer. Tidak sedikit pula yang menganggap pantomim adalah kesenian yang tidak profit. Konsentrasi kelompok-kelompok teater berkutat hanya pada pertunjukan bersuara/berdialog. Dengan kenyataan seperti ini wajar apabila JPF konsep pertama kurang mendapat perhatian bahkan minim peminat. Lantas bagaimana peran pegiat pantomim Jogjakarta selama ini? Hal ini merupakan perenungan kita bersama. Setelah pembatalan konsep pertama, kami berdiskusi lebih lanjut. Mencari cara ideal membenahi acara ini. Banyak gagasan-gagasan terucap dan terlontar. Tetapi hanya strategi membuat “Pengenalan dan Pelatihan Pantomim” disusul acara “Jogjakarta Pantomim Festival” adalah yang paling ideal. Dua acara tersebut merupakan satu rangkaian pesta pantomim Jogjakarta. Jadi sebelum Jogjakarta Pantomim Festival diadakan dulu pengenalan dan pelatihan pantomim oleh seniman ataupun orang ahli bidang kesenian ini. Sasarannya adalah generasi-generasi muda baik tingkat SMP, SMA, maupun Umum. Walau wacana ini tidak dapat terealisasikan, kami berharap rancangan kegiatan pantomim diatas dapat terwujud tahun depan.
Faktor  waktu dan anggaran memutuskan kami harus bergerak lebih cepat. Akhirnya konsep kedua lahir. JPF konsep kedua menargetkan peserta kalangan umum dan hadiah yang kami tawarkan sedikit berbeda dengan konsep pertama. Juara pertama berupa trophi Sri Sultan Hamengkubuwono X dan uang tunai sebesar satu juta rupiah, juara kedua uang tunai tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, dan juara ketiga sebesar lima ratus ribu rupiah. Hadiah tersebut terbilang cukup besar dalam penyelenggaraan lomba setingkat ini. Konsep kedua ini cenderung lebih bebas. Semua kalangan tak terbatas umur boleh mendaftarkan diri. Dengan konsep kedua terjaringlah peserta lintas generasi. Dari yang muda hingga tua. Dari yang awam juga ahli. Respon masyarakat Jogjakarta pun cukup baik dibanding konsep awal. Tercatat 15 peserta baik yang tampil sendiri maupun berkelompok berpantomim di pagi itu.
Akhirnya sampai juga di paragraf terakhir. Saya selaku ketua panitia Jogjakarta Pantomim Festival 2012 berharap kepada seluruh masyarakat Jogjakarta yang mengikuti proses JPF maupun yang melihat langsung pelaksanaan acara untuk memberikan kritikan tajam nan bersolusi untuk ikut bersama-sama menumbuhkembangkan dan melahirkan bibit-bibit baru seniman pantomim di Jogjakarta. Kedepan saya sangat bersemangat sekali jika seseorang-seseorang pembaca diluar sana memberikan keluangan waktunya dan ikut bersama-bersama bekerja sama secara sosial merealisasikan wacana ideal yang telah saya paparkan diatas menjadi sebuah kenyataan. Dengan terlaksanannya JPF ini saya pribadi menginginkan kegiatan ini dapat berlangsung terus-menerus secara berkala (satu/dua tahun sekali) dalam naungan Teater Shima. Di tahun-tahun yang akan datang semoga JPF juga berkembang menjadi sebuah tempat bernaung baru dan wadah unjuk gigi orang-orang berpantomim juga sebagai media apresiasi kesenian pantomim Jogjakarta dan Indonesia yang saling hidup-menghidupi. Selesai juga saya (selaku ketua) mendeskripsikan sebuah proses berkesenian, tentunya di dalamnya terdapat keluh-kesah, suka-duka, salah-menyalahkan, dan tidak luput dari rasa dendam yang sulit untuk dihentikan, yang tidak saya tulis secara detail disini. Tetapi semua diatas adalah wajar, proses berkesenian identik pula dengan proses pencarian jati diri dan menemukan kehidupan bijak dan madani. Akhir kalimat, saya mengucapkan terima kasih kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X; tim penjurian yang terdiri Jemek Supardi, Untung Basuki, dan Sekar Rini; rekan panitia JPF yang sangat saya kagumi; para anggota Teater Shima dan Teater eMWe yang telah memberikan sumbangsih gagasan dan semangat; Keluarga besar SMAN 6 Yogyakarta diseluruh nusantara dan dunia yang telah memberikan power imajiner yang luar biasa besarnya; Kepada peserta JPF (maaf jika kami banyak kekurangan); kepada masyarakat Jogjakarta atas responnya; dan kepada perseorangan-perseorangan yang tidak kami sebutkan satu persatu yang turut memeriahkan, meramaikan, dan mendoakan acara ini sehingga lancar. Terimakasih banyak dan sampai jumpa di Jogjakarta Pantomim Festival yang akan datang! Salam Budaya!

Rabu, 31 Oktober 2012

Ini opini saya...



Proses interaksi sosial sangat dibutuhkan dalam proses berkesenian. Mahasiswa seni dalam berkehidupan tidak dapat dipisahkan oleh proses ini. Proses ini juga merupakan media bagi para mahasiswa seni untuk mendapatkan inspirasi dan lebih lanjutnya merupakan tahapan untuk mengenal lebih dalam siapa diri mereka. Dalam kegiatan untuk mencari inspirasi untuk menghasilkan karya yang baik hal pertama yang harus dilakukan adalah proses pencarian bahan-bahan. Materi-materi itu tidak mungkin didapatkan jika manusia hanya berdiam saja. Manusia perlu melakukan komunikasi antar sesama. Turun mendekatkan diri kepada komunitas-komunitas masyarakat. Memasuki pergaulan seluas-luasnya di berbagai lapisan masyarakat. Dengan kegiatan seperti itu, mahasiswa seni dapat meningkatkan unsur kepekaan dan pintar mengolah rasa emosi di dalam diri. Kegiatan turun langsung di dalam masyakarat tersebut juga menyelaraskan dan menyeimbangkan pola pengembangan pengetahuan dan wawasan. Tidak melulu dengan melihat dan mencari referensi melalu media massa atapun internet. Tapi juga dengan pengalaman empiris. Di dalam melakukan proses interkasi sosial diatas terdapat beberapa faktor yang berpengaruh yaitu imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Imitasi
Setiap orang pasti memiliki sosok idola. Dan setiap manusia yang memiliki tokoh idola cenderung meniru setiap penampilan visual dan gaya hidup si idola. Tokoh idola itulah yang merupakan kiblat manusia dalam berpakaian, bergaya rambut, dan sebagainya. Disini peran media massa dan lingkungan sangat berpengaruh. Dua media tersebut berjasa penting terhadap proses pengenalan para tokoh.
Sugesti
Merupakan kata yang diambil dari bahasa Inggris. Suggest artinya memberi saran. Suggestion artinya mengacu pada pikiran. Menurut KBBI sugesti sendiri adalah anjuran, saran, dorongan atau pengaruh yang dapat menggerakkan hati orang. Seorang mahasiswa seni tidak boleh melupakan tahap ini. Mahasiswa seni memerlukan saran, anjuran dan pendapat dari orang lain yang sesuai kebutuhan disiplin ilmu mahasiswa tersebut. Seorang mahasiswa juga harus berani untuk memasuki dunia pergaulan yang baru dan menyerap sebanyak-banyaknya ilmu dari tempat itu. Omongan-omongan orang lain juga tidak boleh diterima secara mentah dan dipercaya begitu saja. Tetapi, jika ingin tahu bagaimana rasanya merokok kenapa tidak dicoba? Atau jika ingin tahu bagaimana rasanya berkelahi kenapa diam saja dan tidak mencari gara-gara? Begitulah.
Identifikasi
Adalah proses untuk menjadi sama atau identik dengan tokoh idolanya. Berbeda dengan imitasi, proses ini tidak sekedar meniru secara visual. Tetapi mengidentikkan diri hingga unsur kejiwaannya. Seorang mahasiswa seni dalam proses ini meniru dan mengadaptasi sampai ke ideologi dan kebiasaanya. Apa kegiatan favorit. Apa pandangan politiknya. Bagaimana sikapnya terhadap bangsa. Apa buku yang dibacanya. Misalnya, seseorang yang fanatik mengidolakan Bob Marley ia akan berpenampilan seperti Bob Marley tidak hanya secara visual saja tetapi juga pandangan dan sikap hidupnya.
Simpati
Dalam berkarya, mahasiswa seni membutuhkan dasar pijakan sebagai alat atau media pendukung dalam menguatkan narasi ataupun mengiyakan setiap pemikiran dan perilakunya. Itulah alasan kenapa orang-orang bersimpati. Coba bayangkan jika karya si A tidak sesuai dengan pemikiran kita atau omongan si B tidak sesuai dengan pandangan hidup kita, apakah kita simpati? Sekian.

Puisi Kesepian

Haruskah pada malam kubersimpuh?
Merenung dan merindu seorang diri.
Gumpal rindu mengendap.
Menunggu siap untuk meledak.
Untuk siapa? Tiada.
Ketiadaan yang benar-benar!
Kosong!
Sepi!
Tersisa manusia sia hidup tak berarti.
Haruskah pada malam kubersimpuh?
Ya, mau tidak mau.

Rabu, 26 September 2012

Kenangan yang Tersisa Diantara Lembaran Lembaran Baru


Saya termasuk orang nomaden. Sering berpindah tempat alias rumah tinggal. Dalam kurun waktu 16 tahun saya sudah berpindah rumah tiga kali. Sebagai seorang anak saya tidak bisa berbuat banyak mengubah jalan pikiran orangtua. Hanya pasrah dan mengikuti kemauan orangtua. Dengan perasaan berat hati saya meninggalkan tempat lama dan bersiap adaptasi dengan lingkungan tempat tinggal baru. Sejak pertengahan tahun 2011 kami sekeluarga sudah menempati rumah baru di daerah Nanggulan, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Di tempat baru inilah saya mencoba belajar menyesuaikan diri layaknya anak-anak belajar sepeda roda dua. Sebelum benar-benar jiwa saya berpindah tempat, saya akan menceritakan kisah kenangan ataupun pengalaman manis saat berada di rumah pertama dan kedua, untungnya jarak antar dua rumah ini saling berdekatan hanya dibatasi oleh lingkungan masjid sehingga saya benar-benar memiliki sebuah cerita yang kompleks dan berkesan. Saat masih berada di Minomartani, tempat tinggal pertama dan kedua, saya duduk dibangku TK sampai dengan kuliah masuk tahun kedua. Direntang waktu yang cukup panjang tersebut saya akan membagikan pengalaman dan ingatan-ingatan menarik kepada para pembaca.
Banyak pengalaman dan pengamatan yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari disana. Baik saat bersama keluarga, teman bermain, dan institusi keagamaan. Saya akan menceritakan satu persatu tiga bagian diatas, dimulai dari keluarga. Saya hidup dalam suasana serba agamis. Di keseharian selalu melekat doktrin agama. Orangtua saya cukup keras dalam memerintahkan bersembahyang sholat lima waktu ataupun hal-hal yang berkaitan dengan agama. Tidak dengan kekerasan fisik tetapi hanya memainkan intonasi suara saja. Jika adik dan kakak lupa sembahyang, maka mereka akan menjadi bulan-bulanan omelan orangtua saya. Apalagi saya, hampir setiap hari orangtua saya menasihati anaknya yang bandel ini supaya rajin beribadah. Aktivitas ini masih setia dilakukan orangtua saya sampai detik ini. Huh! Betapa merepotkan saya. Ada pembelajaran unik dan menggiurkan pada waktu itu, yaitu saat puasa ramadhan orangtua saya menjanjikan uang seribu rupiah tunai untuk setiap satu hari puasa penuh. Sungguh saya sangat bersemangat pada saat itu. Berlomba-lomba mencari kebaikan dan keuntungan! Bayangkan jika puasa penuh 30 hari pasti akan mendapatkan uang 30 ribu rupiah yang pada saat jaman seusia SD sudah terhitung lumayan banyak untuk jajan. Untuk para orangtua yang memiliki dan ingin membiasakan puasa anak-anaknya silakan mencontoh orangtua saya. Terbukti ampuh! Tidak cukup pembelajaran dalam lingkup rumah saja saya diajarkan ilmu agama. Orangtua saya memercayakan ketiga anak-anaknya untuk menimba ilmu di sekolah dasar berbasis Muhammadiyah. Saya tidak tahu apakah orangtua orang Muhammadiyah apa tidak. Atau mungkin NU. Dulu saya pernah menanyakan kepada bapak saya dan jawabnya singkat dan marem : “ Muhammadiyah NU podho wae, ora ono bedone”. Oke, saya setuju.
Masa kecil adalah surganya masa saat anak-anak bebas bermain dan mengeksplor hal yang ada. Bersikap liar dan luar biasa. Saya sangat menikmati masa ini. Kelompok teman bermain pada rentan waktu 1998 – 2003 (masa SD) merupakan kelompok bermain yang banyak menikmati dan merasakan permainan dari apa dan darimana saja. Kenapa? Karena rentan waktu pada saat itu merupakan masa peralihan zaman orba ke reformasi. Disatu sisi kami masih merasakan permainan tradisional dan di sisi lainnya kami memainkan permainan dan disuguhi hiburan anak-anak dari mancanegara, yang saat itu lambat laun mulai masuk Indonesia. Dua sisi ini walapun berasal dari berbeda latar tetapi mempunyai kesamaan erat yaitu keduanya memiliki orientasi sama, hiburan untuk anak-anak dan mereka menjalankan fungsinya dengan sangat baik. Tanpa menghilangkan esensi bermain. Saya akan memulai dari bagian tradisional terlebih dahulu. Dulu saya dan teman-teman sangat gemar melakukan permainan bercorak lokal. Diantaranya yang masih saya ingat adalah nekeran, benthik, gamparan, boi-boinan, petak umpet, sobak sodor, pistol-pistolan dengan pralon dan balon, tulup pring, jamuran, cendhak ndodhok, dadi patung, dan lain sebagainya. Apakah kalian masih ingat dengan permainan diatas? Masih ingatkah cara memainkannya? Hal paling seru adalah ketika selesai bermain pasti ada pihak yang menang dan kalah. Lucunya, saat ada yang kalah biasanya ia tidak terima dan seringkali kedua anak tersebut udur-uduran hingga paling parahnya jika tidak ada yang mau mengalah berujung saling tonyo. Jika kamu pihak yang berhasil membuat temanmu menangis artinya kamu telah menjadi seorang satria. Tapi tidak berhenti disitu, dan jika temanmu sambil menangis pulang ke rumah dan memberitahukan kejadian kepada bapaknya, kamu berhak memanggil temanmu dengan panggilan anak cengeng!. Setelah kejadian itu dijamin kamu akan dihargai oleh sesama temanmu. Sungguh saya rindu masa lalu.
Dahulu ada dua musim yang selalu ditunggu-tunggu saya dan teman-teman yaitu musim layangan dan musim petasan. Saat datang musim layangan, tepatnya jatuh bersamaan dengan musim kemarau di Indonesia, langit angkasa di sekitar rumah meriah dengan berbagai bentuk dan warna-warni layangan. Para tua-muda dengan riang setiap sore menerbangkan layangan. Baik layangan buatan sendiri ataupun produk jadi. Ada keunikan sendiri dalam bermain layangan di tempat tinggal saya. Jika layangan terdapat tempelan ekor, biasanya ditempel di bagian bawah dan berbahan koran atau bahan-bahan ringan lainnya, itu pertanda bahwa sang penerbang layangan tidak berniat untuk menarungkan layangannya. Sementara lainnya harus menghormati layangan tersebut. Semua kesepakatan ini merupakan aturan tidak tertulis yang entah datang dari mana. Meskipun demikian, aturan tersebut ditaati oleh semua penerbang layangan. Bagi yang tidak menerbangkan layangan juga tidak ketinggalan untuk ber-euphoria pada musim ini. Orang-orang yang tidak menerbangkan layangan biasanya hanya akan menunggu layangan gabul atau putus dari benangnya akibat saling bergesekan senar satu dengan yang lainnya. Mereka hanya tinggal duduk dan menunggu momen, mereka akan berhamburan saling kejar-mengejar jika ada layangan putus. Dengan suka cita dan semangat menggebu mereka berlari adu kecepatan kaki. Barangsiapa lebih cepat maka ia akan mendapatkan layangan putus dan barangsiapa yang lebih banyak mendapatkan layangan putus maka ia dengan sendirinya dicap sebagai anak terkuat dan terlincah dari semua orang-orang yang ikut dalam misi pengejaran tersebut. Begitulah permainan layangan, simbol kehormatan dan kemenangan bagi anak-anak desa seperti kami.
Lain musim lain cerita. Pada musim petasan juga tidak kalah seru. Musim petasan berlangsung sebulan penuh saat bulan Ramadhan. Dahulu penjualan obat petasan masih bebas dan mudah dijangkau bagi semua orang tidak seperti sekarang. Dengan kemudahan akses, kami membeli obat petasan dan membuat petasan seperti yang kami inginkan. Petasan yang sering kami buat diantaranya bentuk tabung memanjang (leo) dan segitiga (sempe). Dua bentuk ini merupakan petasan yang mempunya daya ledak tinggi dan menimbulkan suara menggelegar. Namun begitu kami tidak sembarangan menyulut petasan tersebut. Ada waktu-waktu dan tempat tertentu yang sengaja kami pilih untuk menyalakan benda itu. Waktu favorit kami biasanya dilakukan setelah ritual sembahyang shubuh dan tempat yang kami pilih adalah jalan-jalan utama di desa yang kanan-kirinya merupakan areal persawahan warga. Di jalan utama tersebut juga banyak orang-orang melakukan jalan-jalan pagi setelah sembahyang sholat. Suara petasan tidak sebaliknya membuat marah para warga namun suara tersebut banyak menarik perhatian orang-orang yang melintas di jalan itu. Bahkan ketika petasan habis, banyak juga orang-orang mengeluh kecewa. Begitulah tradisi petasan disetiap ramadhan tiba. Tanpa petasan ramadhan tiada artinya, katanya. Ada juga tradisi membunyikan long bumbong (terbuat dari sebatang bambu). Permainan ini juga tidak kalah menarik dibanding petasan. Permainan ini, selain murah meriah juga merupakan teman saat menunggu berbuka puasa tiba. Saking senangnya bermain di bulan ramadhan saya sering lupa mendatangi pengajian dan banyak meninggalkan berbagai macam sembahyang. Akibatnya, saya sering membuat laporan dan memalsukan tanda tangan ustadz. Yah, apapun saya lakukan demi nilai terbaik, demi terpenuhinya semua tabel di dalam buku panduan ramadhan sekolah saya.
Hiburan dari mancanegara yang masih saya ingat sampai sekarang antara lain, menonton acara kartun minggu pagi sampai siang hari. Praktis pada setiap hari minggu jarang sekali ditemui anak-anak bermain di luar rumah dan ekses seperti ini banyak sekali manfaatnya, khususnya bagi si orangtua dan anak. Saya mempunyai pengalaman menarik berkaitan dengan hal tersebut. Persahabatan kami bertambah erat setelah menonton acara kartun, kami membahas setiap cerita kartun yang ditayangkan. Tidak ada yang terlewat satu pun kartun di minggu pagi yang kami bahas. Anak yang dapat menguasai isi cerita kartun paling banyak ialah anak yang paling pintar dan cerdas. Bayangkan betapa banyaknya kartun yang ditayangkan dan bagaimana bisa kami melihat setiap kartun yang ditayangkan disetiap televisi padahal kartun-kartun favorit bersamaan jam penayangannya disetiap stasiun televisi. Berbagai cara kami lakukan salah satunya dengan cara bergantian menonton kartun disetiap channel stasiun televisi. Jadi, tidak ada sama sekali kartun yang kami tonton dari awal sampai akhir. Ini semua hanya demi terlihat sebagai anak yang paling paham. Acara televisi produk manca lainnya yang populer pada saat itu adalah Amigos, setelah pulang sekolah saya langsung menyalakan televisi. Tidak boleh satupun adegan yang terlewatkan. Alasannya persis sama seperti diatas. Isi film akan menjadi bahasan pembicaraan utama di kelas-kelas. Bahkan saya juga sempat mengoleksi kertas binder dan segala jenis pernak-pernik berkaitan dengan film tersebut. Sungguh saya tertawa malu saat menulis bagian ini. Berbicara mengenai barang-barang koleksi, saya sempat membuat dompet orangtua saya kembang kempis tidak stabil dikarenakan saya termasuk anak korban iklan. Saya banyak membeli snack ringan hanya untuk mengoleksi barang-barang hadiah dari makanan itu. Dimulai dari gambar-gambar pokemon, gambar-gambar digimon, dan sebagainya. Kalau dipikir-pikir sekarang, saya menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk mengoleksi barang-barang tersebut. Saya juga bingung mengapa dulu saya giat mengoleksi hadiah snack itu. Apakah anak-anak memang rentan terhadap praktek hipnotis?
Hari berganti hari otomatis usia juga semakin banyak. Hal ini memengaruhi pola pikir saya dalam kehidupan keseharian. Di bangku SMP saya aktif berkegiatan di dalam organisasi remaja Islam masjid di lingkungan tempat tinggal. Banyak pengalaman organisasi yang saya dapat. Seperti bagaimana cara membuat acara keagamaan, mengkoordinasi kegiatan kerja bakti, bagaimana cara dakwah Islam yang baik dan santun, dan sebagainya. Di usia ini saya sadar betul bahwa saya hidup di lingkungan yang heterogen. Mempunyai berbagai latar belakang SARA yang berbeda-beda. Dibutuhkan sikap toleransi dan saling menghargai antar sesama. Untung para sesepuh desa merupakan orang-orang bijaksana dan mampu menularkan sikap bijaknya terhadap semua warganya. Dengan semua sikap dan nilai-nilai yang ada, wilayah saya aman dari bentrokan-bentrokan baik bersifat vertikal maupun horizontal.
Sekian!

Karya Seni Bukan Seperti Membuat Mie


Produk kesenian tidak terlepas dari rancangan ataupun susunan-susunan konsep yang disengaja. Para seniman tidak hadir begitu saja di muka bumi dengan karya seni yang dibuatnya. Mereka hidup dengan penuh proses serta belajar terus-menerus sesuai bidang seni masing-masing. Ibarat membuat keris, semakin banyak dan tekun dalam menempa, semakin baik juga kualitas keris yang dihasilkan. Seniman juga tidak serta merta sesuka hatinya membuat karya. Walaupun di dalam seni, seniman dituntut untuk selalu liar dalam berimajinasi dan proses kreatif tetapi wajib pula mereka mempertanggungjawabkan hasil karya yang dibuat.
Hasil karya seni dibagi dalam 3 haluan besar. Yaitu seni rupa, seni pertunjukan, dan seni audio visual. Ketiga-tiganya merupakan disiplin ilmu yang membutuhkan keseriusan dan fokus mendalam. Seorang seniman sesungguhnya akan menolak mencipta karya dengan instan karena sikap tersebut merupakan pembohongan besar-besaran terhadap dirinya sendiri. Ada kesadaran di setiap seniman untuk tidak berupaya instan di dalam setiap hasil karyanya. Pencipta karya juga tidak akan bekerja dengan asas buru-buru maupun hanya untuk mendongkrak popularitas belaka. Mereka percaya, popularitas akan muncul sendirinya asal tetap konsisten. Demi mendapatkan nilai estetika tinggi, tidak jarang seniman rela meninggalkan kehidupan sehari-harinya hanya untuk menciptakan sebuah karya. Dalam mencipta karya, seniman juga mengimbangi rasa etikanya dengan  bersosialisasi di kantong-kantong perkumpulan masyarakat. Dengan begitu referensi dalam mencipta karya semakin banyak dan karya yang dihasilkan semakin matang. Begitulah pendekatan empiris sangat dibutuhkan bagi para seniman.
Hasil karya seni tidak mutlak universal. Artinya, kesenian hadir tidak selalu disambut suka cita dan rasa senang dari masyarakat. Ada penolakan dari masyarakat terhadap hasil karya seni tersebut. Contohnya adalah pro-kontra di dalam masyarakat terhadap bentuk visual manusia telanjang. Walaupun peristiwa tersebut telah menjadi masalah besar di negara ini tetapi seolah-olah pemerintah dan masyarakat seni –para seniman, tutup mata dan kurang mengkaji permasalahan tersebut yang jelas-jelas sudah menimbulkan ekses-ekses tertentu. Di negara-negara barat permasalahan diatas sudah menjadi sebuah karya seni yang dihargai. Objek ini diidentikkan dengan nilai estetika indah nan sakral. Tidak lagi disikapi sinis oleh masyarakat disana. Latar belakang sejarah mempengaruhi hal ini. Peradaban barat yang dibentuk oleh diskusi pemikiran dan kajian mendalam selama beratus-ratus tahun yang lalu telah membuat peradaban ini maju dalam segala bidang. Tidak terkecuali di bidang karya seni. Dengan perbedaan diatas dapatlah kesimpulan bahwa proses berkarya di negeri ini dan di negara-negara barat berbeda, tidak dapat disamakan apalagi dipaksakan cara-cara sudut pandang tertentu dalam menilai karya seni seseorang. Alasan diatas pulalah yang menyebabkan penghargaan atas hasil karya seni di negeri ini kurang. Seni masih dianggap pekerjaan membuang-buang waktu dan aktivitas kurang kerjaan. Lebih parahnya di era sekarang, seni dianggap tidak menghasilkan uang alias masa depan suram. Sungguh dangkalnya otak seseorang jika berkata seperti itu. Apakah hidup makmur sejahtera selalu diidentikkan dengan seberapa banyak uang yang didapat? Alasan ini jugalah yang mengakibatkan seni mendapatkan perlakuan sinis masyarakat Indonesia.
Terlepas dari sisi subjektif ataupun objektif, karya seni tidak dapat berdiri sendiri tanpa pembuatnya. Penglihatan hasil karya orang awam dan orang seni –orang yang lama berkecimpung dalam seni, berbeda. Orang awam biasanya melihat karya seni didasari atas hiburan semata tanpa lebih lanjut mendalami makna-makna objeknya, teknik-teknik, dan proses berkesenian sang seniman. Tetapi dengan penglihatan awam tersebut banyak seniman berpendapat lain, mereka berkata bahwa penglihatan awamlah yang mepunyai suara-suara objektif terhadap karyanya, apakah karyanya dapat menyampaikan pesannya dengan baik atau tidak. Lain halnya dengan orang seni. Mereka melihat karya seni sebagai sesuatu mahakarya tinggi manifestasi Tuhan dalam wujud lukisan, pertunjukan, dan video. Mereka juga melihat karya seni dari sudut pandang proses panjang seniman. Mereka berpendapat bahwa proses berkarya seniman sangat mempengaruhi hasil karya seniman tersebut. Tidak jarang pula orang seni yang hobi mengoleksi lukisan menghargai karya seni tersebut dengan harga tinggi. Itulah sebabnya kenapa lukisan Bob Sick –yang hanya berupa coretan-coretan abstrak, banyak dicari orang.
Kesimpulannya, seni bukanlah hal instan. Seni membutuhkan perjalanan proses panjang dan seringkali melelahkan. Seni juga merupakan sesuatu hal yang dikonsep dan tersusun atas rancangan-rancangan teliti dan detail yang disengaja. Dan juga didasari atas nilai etika, logika, dan estetika sehingga mampu menghasilkan sebuah hasil karya seni yang mempengaruhi segala sendi kehidupan manusia.