Sabtu, 25 Februari 2012

Luweng Sampang

Luweng Sampang (Profil Singkat)
Objek Wisata yang jarang diketahui oleh orang kebanyakan. Terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta, yang berjarak sekitar 25 km. Air terjun ini walaupun kecil tapi mempunyai nilai kesan tersendiri apalagi jika menggunakan sepeda menuju kesana. Rute dapat melalui jalan ini : Yogyakarta - Jalan Solo (arah Prambanan) - Pertigaan Gantiwarno (masuk kanan) - Desa Jogoprayan - terus tanya kanan-kiri saja, Nuwun sewu, ndherek tanglet, yen badhe teng Luweng Sampang niku lewat pundi nggih? Walaupun rute melewati daerah Klaten, Jawa Tengah, ternyata air terjun ini masuk dalam kawasan Kabupaten Gunungkidul, DIY. Memang rute ini adalah paling mudah dilalui jika menggunakan sepeda karena jalan yang tidak menanjak dan landai pula untuk dilewati. Luweng Sampang patut dikunjungi bagi para pecinta alam khususnya pecinta air terjun. Juga cocok untuk membawa keluarga maupun pasangannya datang kesini. Suasana lingkungan air terjun dan pedesaannya membuat kita merasa nyaman dan tentram :) 












Dokumentasi :
Dewantara Tirta Putra, Muhamad Erlangga Fauzan, Suhadi Rausyan K.

Rabu, 15 Februari 2012

Lamunan


Gadis pujaanku, lihatlah disana, tukang becak sedang melamun tinggi-tinggi ke atas langit. Menanti pelanggan yang bersedia merogoh koceknya untuk diajak jalan-jalan diatas kota pengharapan. Ya, Yogya, kota penuh kenyamanan untuk berharap apa saja. Tak terkecuali kamu, gadis pujaanku. Gadisku sehidup semati pujaan hatiku, coba kau cermati mas tukang becak itu. Apakah kau sanggup menerka apa gerangan di dalam renungannya. Di dalam lamunannya siang itu. Coba tebak ia punya anak berapa. Atau ia beristri atau belum. Atau di dalam lamunannya ia dinanti istri-anaknya di rumah. Atau ia berpikir kalau begini terus mana ada makanan yang tersedia di meja makannya. Mana ada asap yang mengepul di tungku nasinya. Atau ia sedang mengeluh kesah akan takdir hidupnya. Hayoo coba tebak, gadisku. Tebaklah saja. Jika kau benar maka kau akan keliling kota ini, tentu saja pakai becak menawan itu. Alias aku traktir engkau dengan sisa uang gajianku tadi. Sesungguhnya becak itu tidak bagus-bagus sekali, menawan merupakan kata pas untuk menggambarkan kefavoritan saya terhadap benda itu. Benda aneh beroda tiga yang kalau dilaju mundur akan ngerem dengan sendirinya. Alias rem torpedo. Ia punya penutup ban yang antik, menggelembung besar dihiasi lukisan-lukisan lokal yang tinggi juga cita rasanya. Entah memakai peribahasa jawa, pemandangan alam, ataupun hanya sekedar tulisan atau slogan penyemangat bahasa-bahasa penarik becak itu sendiri. Dudukan bokong dan punggungnya empuk terbuat dari busa yang ditutup dengan ala kadarnya penutup. Pelindung dari panas hujan juga terbuat fleksibel, bisa dibuka ditutup, itu pun juga tergantung permintaan sang konsumen becak.
Gadisku kenapa kau yang berubah melamun. Apa kau juga ingin bermain tebak-tebakan juga. Dan saya yang harus menebak isi lamunanmu itu? Ah sungguh lucu kau itu tebak dulu punyaku baru aku ladeni punyamu itu. Kita mainnya satu-satu. Apa kau lupa kalau saya ini laki-laki, yang tak biasa berfokus pada banyak. Aku ini jagonya fokus satu-satu. Selesaikan dulu tebakanku. Gadisku bertambah konsen melamun. Kucoba tanganku kuayun-ayun di depan matanya. Ia tak berkedip sama sekali. Itu aneh. Tak biasanya ia melamun lama seperti itu. Saya bingung. Bingung. Harus kuapakan ia supaya sadar. Ia tetap mematung. Berdiri kaku. Matanya sedikit melotot. Arah pandangnya ke arah tukang becak itu. Tiba-tiba datang angin besar dari arah sisi belakang kami, saya sempat terjatuh tapi bayangkan, apa yang terjadi dengan gadisku? Ia tak kenapa-kenapa! Ia tak beranjak dari tempatnya sesenti pun. Hanya rambutnya yang panjang yang berkibar-kibar seperti bendera kebangsaan terkibar dengan jelas saat upacara bendera SD dulu. Saya sedikit menyerah. Kuraih gagang bangku taman kota dan kududukkan bokongku yang sudah layu itu kesana. Saya menunggunya sambil duduk. Tidak tidur dan tidak juga ikut dirinya. Hanya duduk. Hanya itu.
“Apakah kata-kataku tadi menyakiti hatinya?”, terangku berkata pelan.
Pertanyaan itu muncul tiba-tiba di pikiranku. Entah kenapa pikiranku terbersit disana. Saya juga tak tau asal muasal kalimat itu. Ia muncul begitu saja. Mengenai permainan mas tukang becak itu sebenarnya hanya intermezzo belaka. Saya tak berniat menyindir apapun tentang dirimu. Saya tak berniat apapun. Benar-benar tak ingin dan tak sanggup. Kau tau kan aku tak suka melihat orang menangis. Lebih-lebih itu dirimu, gadisku. Yang ku tau, intermezzo itu sengaja kubentuk karena aku kehilangan bahan juga untuk ngobrol dengan dirimu. Itu saja.
                “Apakah itu tandanya aku sudah kehilangan rasa sayangnya?, berkataku lirih.
Tepatnya sudah 3 tahun ini aku menikmati kehidupan ini. Memiliki seorang perempuan. Mengobrol berdua dan tentunya jalan-jalan. Setiap hari adalah istimewa bagiku. Belajar selalu disampingku, si gadisku itu. Makan-minum selalu mengeratkan tangan satu ke tangan lainnya. Entah apa yang coba dipikirkan orang lain terhadap kami. Kami tak peduli. Yang penting kami peduli terhadap kami sendiri. Aku menyayangi dia. Dia selalu menghadiahkan ciuman kening sesaat setelah ia menugaskanku untuk apa yang ia perintahkan kepadaku. Oh bukan main gadisku terhadapku. Apalagi bibirnya sangat halus dan berwarna merah muda. Tipis dan lembut juga. Dan setiap kali ia menciumkan bibirnya ke keningku, entah kenapa rasa untuk menjurus ke sesuatu yang lebih dalam melintas juga di pikiranku. Tapi itu tak lebih hanya sekedar pikiran. Karena aku sudah terlanjur janji dan berprinsip tebal bahwa keyakinan berpasang-pasangan seperti yang kulakukan terhadapnya adalah sesuatu rahmat, sesuatu yang suci sakral. Ia harus dijaga baik-baik. Ia harus dirawat supaya awet. Maka dari itu aku tak berani macam-macam dengannya. Jika bersentuhan fisik, selain cium kening dan berpegangan tangan, itu pun juga karena keadaan terpaksa. Pernah saat aku sedang menemani ia untuk hunting foto dekat rumahnya. Saat itu rumahya belum dibangun garasi mobilnya. Dulu disitu pernah ada sawah indah yang bercokol burung-burung gereja dan berpenghuni siput, cacing, ataupun ular yang warna-warni. Saat itu ia berdiri di atas jalanan kecil sawah dan ia terlanjur berpose bak seorang fotografer professional. Dengan bokong terlalu condong ke belakang dan badan kepala menjorok ke depan lalu kedua tangan, tangan kanan memegang badan kamera. Tangan kiri mengatur zoom fokus untuk objek mataharinya. Tapi aku langsung sigap. Ternyata posisinya kurang pas. Ia tak menginginkan angle pertamanya itu. Ia ingin mengubah gaya fotonya. Tapi agaknya keseimbangannya sedang kacau. Ia hampir terjatuh ke depan. Untung saja aku berada disisi kanannya saat itu. Langsung aku tangkap badan gadisku, tepatnya dua buah dadanya aku pegangi erat dengan bagian dalam tangan kiriku. Ia tak marah apalagi menamparku seperti di tivi-tivi. Pipinya memerah. Senyumnya berubah malu-malu. Agaknya ia sadar bahwa aku tak sengaja melakukannya. Tapi aku diam-diam senangnya bukan main. Sungguh girang hatiku saat itu. Empuk dan sedikit kenyal, maklum ukuran kepunyaan gadisku standar-standar saja. Ya bisa dibilang berkecukupanlah. Alhamdulillah, puji syukurku kepada Tuhan.
                Pikiranku teracuni pikiran-pikiran aneh terhadapnya. Padahal ia hanya melamun. Tapi efeknya luar biasa dahsyatnya. Aku mengira ia sudah bosan denganku. Dan muncullah pertanyaan itu tadi. Ini suatu keanehan bagiku. Belum tentu lamunannya menggambarkan hal itu. Tapi pikiranku main hakim sendiri. Dikiranya ia, gadisku bosan denganku. Bosan dengan ucapan-ucapanku. Bosan dengan tingkah lakuku. Bosan dengan sandangku yang itu-itu saja. Bosan dengan kata sayangku, yang selama 3 tahun ini aku umpamakan dengan nama seekor binatang. Apa maksudnya? Ya sekedar untuk pemanis rasa sayang atau biasa disebut kebanyakan anak muda seperti saya, ya, sebagai kata ganti orang, sebagai panggilan sayang. Apa ia sekarang sakit hati jika kupanggil dengan begitu? Apa bukan itu alasanya? Tapi apa? Atau ia muak dengan kata-kata smsku yang kurasa cukup monoton juga dan itu-itu saja. Kamu lagi apa, sudah makan belum, hati-hati ya sayang, belajar yang rajin, jangan lupa sholat! Aih aku saja jarang sholat sudah berani pula aku memperingatkan orang. Sungguhpun perkataan-perkataan itu baru kali ini aku pikir ulang esensi maknanya. Jika seumpama aku sudah tak lagi memiliki ia apa aku mau berkata seperti itu? Jika ia sudah putus denganku apakah aku masih mau memerhatikan ia? Kata-kata sayang berubah tak berarti sesaat terlontar pertanyaan-pertanyaan itu. Aku pun sedikit sadar tentang hubungan lawan jenis, apakah ia harus berstatus supaya diakui atau apakah ada cara lain supaya orang yang kita senangi tidak diembat orang lain? atau bagaimana cara kita menandai orang yang kita sukai tanpa harus ada pacaran, yang notabene sekarang ini telah meracuni otakku, telah membunuh semua akal sehatku, dan parahnya lagi telah merenggut hampir semua isi dompetku. Baru kali ini. Pikiranku memberondongku bak senjata otomatis yang otomatis juga membuatku terhenyak seketika. Ya cuma gara-gara ia melamun di depan mas tukang becak itu. Baru kali ini juga aku merasa bersalah memiliki ia. Betapa tidak aku ini anak muda kacangan. Bukan anak muda kekinian. Yang memiliki apa saja untuk simbol lain sebagai rasa sayang terhadap pacarnya. Aku hanya bersepeda butut, bersandal swallo biru putih, dan berkemeja ala tukang muadzin masjid-masjid dan bercelana diatas kepala kaki. Tapi jangan salah aku ini orang plural, aku tidak membeda-bedakan kepercayaan orang. Ya anggaplah aku ini seorang yang penuh toleran dan biasanya orang memanggilku si jangmis, panjang klimis. Rambutku yang panjang seperti model iklan shampoo membuat banyak orang suka padaku, apalagi om-om yang suka nongkrong di kafe tempatku bekerja. Seringkali menggodaku, mencubit bokongku dan wajah-wajah mereka berubah ngganyik saat aku membalikkan badan. Setiap kali minyak rambut persediaan habis. Aku langsung menuju dapur dan bergerak diam-diam mengutil minyak goreng untuk meminyaki rambut panjangku yang belah tengah ala poster-poster model rambut mandarin di salon-salon. Sejak saat itu teman-teman karyawan mengejekku begitu. Aku tidak marah. Buat apa marah, toh aku punya gadisku di sampingku. Itu saja sudah cukup untuk mengejek balik teman-temanku bekerja yang kebanyakan masih jomblo.
                Wanitaku itu tetap melamun dan aku dari tadi berusaha menyetop pikiranku yang liar sambil terus duduk tenang. Duduk tenang sambil atur nafas nyaman. Aku terus mengamati gadisku dari sini –bangku taman yang sedari tadi memunculkan pikiran-pikiran membingungkan terhadapku, terhadapnya, terhadap kita berdua.
                “Aku sadar pertanyaanku untuknya tentang tukang becak itu telah memerihkan hatinya. Aku salah menganalogikan diriku dengan tukang becak. Seharusnya aku berpikir sejenak dan tak buru-buru memutuskan tema buat mengobrol”, penyesalanku menjadi-menjadi.
Aku merunduk. Kurekatkan kedua telapak tangan di depan mulutku. Aku bingung. Apakah ini akhir perjalanan cintaku. Bagaimana nasibku setelah kuputus dengannya. Oh gadisku maafkan semua yang ada di diriku. Aku belum mampu untuk membahagiakanmu. Aku masih seorang kere. Seorang tekyan. Mungkin pikiran-pikiran negatif itu muncul gara-gara keadaanku seperti ini. Sebenarnya juga aku tidak terlalu percaya diri berjalan disampingmu. Tidak terlalu nyaman berdua-duaan di kafe, di mal, di butik menemanimu walaupun aku lihat kau gembira bukan main. Aku pun juga heran kenapa kau bisa suka terhadapku. Bisa suka terhadap semua keadaanku. Dan bisa-bisanya kau pun tahan semua marah dan jengkelku terhadapku saat kau melakukan salah. Bisa-bisanya pula kamu setahan itu terhadapku selama 3 tahun tanpa memarahi dan selalu bersenyum kepadaku. Keadaan ini pun juga salah satu keanehan bagiku. Baru kali ini aku mengenal gadis seperti ini. Tahan gempa bersungut dan selalu menyebar angin senyum. Dengan alasan itu, aku pun menerima dia sebagai gadisku. Sebagai pacarku. Alasan-alasan seperti ia kuning langsat, bermata coklat, berkantung mata, berbibir seksi, berdada ideal, dan bermuka bersih mengikuti dibelakangnya. Tapi jika kau tau, hati kecil yang bernama hati nurani kepunyaanku selalu tidak percaya diri dan canggung terhadap wanita cantik sepertimu. Ini seperti hal yang berseberangan, kau mencintaiku aku juga sama tetapi hati kecilku berkata lain, malu berjalan berdua denganmu – ya karena keadaanku.
“Kau harusnya tau bahwa aku yang dulu bukanlah diriku yang sebenarnya. Kau melihat diriku nyaman, senang, dan gembira. Aku yang dulu adalah sebuah kebalikan”, kataku terhadapnya tapi ia tetap melamun.
Dulu orang-orang tua pernah berkata bahwa laki-laki haruslah berjodoh dengan perempuan yang keadaan ekonominya dibawah si laki-laki. Supaya si laki-laki itu tetap terhormat di depan istrinya. Terhormat kewibawaannya dan harta bendanya. Di gugu setiap ucapan. Ditiru setiap perbuatan. Wejangan-wejangan itu – entah siapa pengarangnya, telah membuat banyak orang-orang mengkandaskan cintanya sendiri. Memutuskan untuk putus terhadap calon pasangan hidupnya gara-gara tidak pede terhadap apa yang menempel di keadaan fisik ataupun batinnya. Mungkin kata-kata itu pula alasan dari sekian ratus alasan-alasan yang mentatoo kepalaku hingga kini. Ini sebuah rangkaian yang unik sekaligus aneh, dari pelamunan lalu kurangkai sendiri sebab-akibatku sendiri, kukasih pengertian sendiri, dan kubuat konklusi yang sebegitu menyayatkan hatiku sendiri malah. Ah! Tambah pusing aku. Ini semua gara-gara tukang becak itu tadi. Aku mulai menambahkan satu objek untuk media penghilangan rasa bersalahku. Aku harus berbuat sesuatu agar ia menurunkan kepalan tangannya dari dagu dan menghentikan lamunannya. Aku harus menonjok tukang becak itu. Ya! tapi pake apa? Kepalan tanganku terlalu kecil untuk merubuhkan tukang becak yang kekar itu. Aku mulai melihat samping kanan-kiriku. Kuraih balok kayu cukup besar. Cukup besar pula akibatnya jika mendarat benar di kepala tukang becak itu. Cukup liang lahat pula jika pas di belakang kepalanya. Aku bergegas. Balok itu sudah ditangan. Hanya menunggu aba-aba dari hitunganku. Hitungan batinku. Satu-dua-tiga-empat, aku berdiri saat jalanan sepi. Langkahku sedikit gemetaran tapi kupaksakan juga untuk berangkat. Kupura-purakan gagahku untuk menghalangi rasa takutku. Niatan jahat ini akan segera ternyatakan. Tinggal selangkah lagi becak dan tuannya berada tepat di depanku. Tapi tiba-tiba sebelum selangkah itu terlangkahkan…
“Becak mas?”, tukang becak segera memalingkan mukannya ke arahku. Cepat-cepat kusembunyikan balok di belakang punggung. Lalu secara diam kusimpan aman dibalik celana panjangku. Aku sedikit terkaget. Keringat mengeringat deras. Muncul disana-sini di bagian tubuh yang sedari tadi gemetaran. Yang sedari tadi kupaksakan untuk berani padahal tidak berani.
“Enggak pak”
“Lantas kenapa kemari?”
“Enggak pak, cuma rasa ingin tahu saja terhadap bapak”
“Oh begitu, Oke, Apa yang ingin kamu tau anak muda?”
“Bapak melamunkan apa dari tadi?”
“Ow, sedari tadi kamu memerhatikan bapak ya”
“Saya sedang lewat sini dan tidak sengaja melihat tingkah laku bapak seperti itu, bapak sedang melamunkan apa?”
“Bapak bukan melamun anak muda, bapak hanya memikirkan sesuatu”
“Sesuatu apa?”
“Apakah ada calon-calon penerus Bung Karno untuk memimpin negeri ini?”
“Oh… tentang Bung Karno ya?”, aku bertambah bingung, campur pusing, campur njludrek.
“Ya! Kenapa tidak? Bukankah setiap manusia di bumi ini berhak memikirkan bangsa dan negaranya? Berdosa jika kita dikarunia pikiran dan akal sehat tetapi lupa akan siapa dan dimana kita. Lupa akan tanggung jawab sebagai manusia Pancasila”
Ku akhiri percakapanku dengan segera. Dengan terburu-buru juga aku memalingkan muka terhadap tukang becak itu. Lantas tiba-tiba gadisku memanggilku. Dan sungguh setengah percaya. Ia memanggilku dengan kata yang tidak pernah ia pakai sebelumnya. Aku tak akan menuliskan kata itu disini. Karena jika kata itu kutulis berarti telah mengikis makna terdalamnya. Biarlah yang mengetahui aku sajalah. Karena sungguh tak ada kata yang pas pula untuk meggambarkan kata itu yang terlontar tulus dari mulut merah mudanya, yang terdengar lembut dan serak-serak basah.
“Apa?”, kataku
“Aku sudah tau jawabanya?”
“Apa? Jawaban apa?”, aku mengernyitkan dahi.
“Tukang becak itu bukan sedang melamunkan apa yang semua kau uraikan tadi. Ia memikirkan hal lain. Tapi pastinya ia tidak memikirkan hal-hal yang kau utarakan. Aku yakin itu. Aku yakin karena kulihat dari tadi di samping ia duduk terdapat tempat makan warna kuning, itu pasti pemberian istrinya, yang tandanya mereka saling mengasihi satu sama lain, saling menyayangi. Begitu halnya dengan anaknya. Anaknya juga memotivasi bapaknya untuk terus membanting tulang. Anaknya pun juga tidak malu atas pekerjaan yang dilakoni bapaknya. Coba liat itu tambalan topi miliknya, bermotif gambar kupu-kupu warna-warni. Mereka bertiga adalah satu kesatuan keluarga yang penuh dengan kebahagiaan. Saling menopang satu sama lain. Saling memotivasi. Mereka adalah gambaran keluarga yang kuidam-idamkan.”
Aku terhenyak kaget. Keget! Tubuhku seperti tertabrak keras dihantam bis dan masuk ke jurang yang curam. Aku kaget tak percaya! Aku mematung. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku merasa kecil dihadapanya. Merasa tidak ada apa-apanya. Merasa tidak berdaya. Merasa tidak cocok sebagai kekasih hatinya!
“Beruntung aku memilikimu. Memiliki seorang kekasih yang mengajariku banyak hal”, katanya penuh dengan kemanjaan.
Ternyata semua penglihatanku semua salah. Penafsiranku gagal total. Pikiran-pikiranku ternyata hanyalah bayanganku. Ia ternyata bukan melamun tapi melakukan pengamatan. Pengamatan yang detail tentunya. Ternyata ia menyadarkan hal penting padaku bahwasanya aku kurang mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadaku. dan tentunya aku harus berusaha lagi memahami bahasa-bahasa tubuh seorang wanita, oh gadisku.
Aku lantas masuk ke dalam mobilnya dan ia perlahan melaju dengan kencang meninggalkan tukang becak itu.