Rabu, 26 September 2012

Kenangan yang Tersisa Diantara Lembaran Lembaran Baru


Saya termasuk orang nomaden. Sering berpindah tempat alias rumah tinggal. Dalam kurun waktu 16 tahun saya sudah berpindah rumah tiga kali. Sebagai seorang anak saya tidak bisa berbuat banyak mengubah jalan pikiran orangtua. Hanya pasrah dan mengikuti kemauan orangtua. Dengan perasaan berat hati saya meninggalkan tempat lama dan bersiap adaptasi dengan lingkungan tempat tinggal baru. Sejak pertengahan tahun 2011 kami sekeluarga sudah menempati rumah baru di daerah Nanggulan, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Di tempat baru inilah saya mencoba belajar menyesuaikan diri layaknya anak-anak belajar sepeda roda dua. Sebelum benar-benar jiwa saya berpindah tempat, saya akan menceritakan kisah kenangan ataupun pengalaman manis saat berada di rumah pertama dan kedua, untungnya jarak antar dua rumah ini saling berdekatan hanya dibatasi oleh lingkungan masjid sehingga saya benar-benar memiliki sebuah cerita yang kompleks dan berkesan. Saat masih berada di Minomartani, tempat tinggal pertama dan kedua, saya duduk dibangku TK sampai dengan kuliah masuk tahun kedua. Direntang waktu yang cukup panjang tersebut saya akan membagikan pengalaman dan ingatan-ingatan menarik kepada para pembaca.
Banyak pengalaman dan pengamatan yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari disana. Baik saat bersama keluarga, teman bermain, dan institusi keagamaan. Saya akan menceritakan satu persatu tiga bagian diatas, dimulai dari keluarga. Saya hidup dalam suasana serba agamis. Di keseharian selalu melekat doktrin agama. Orangtua saya cukup keras dalam memerintahkan bersembahyang sholat lima waktu ataupun hal-hal yang berkaitan dengan agama. Tidak dengan kekerasan fisik tetapi hanya memainkan intonasi suara saja. Jika adik dan kakak lupa sembahyang, maka mereka akan menjadi bulan-bulanan omelan orangtua saya. Apalagi saya, hampir setiap hari orangtua saya menasihati anaknya yang bandel ini supaya rajin beribadah. Aktivitas ini masih setia dilakukan orangtua saya sampai detik ini. Huh! Betapa merepotkan saya. Ada pembelajaran unik dan menggiurkan pada waktu itu, yaitu saat puasa ramadhan orangtua saya menjanjikan uang seribu rupiah tunai untuk setiap satu hari puasa penuh. Sungguh saya sangat bersemangat pada saat itu. Berlomba-lomba mencari kebaikan dan keuntungan! Bayangkan jika puasa penuh 30 hari pasti akan mendapatkan uang 30 ribu rupiah yang pada saat jaman seusia SD sudah terhitung lumayan banyak untuk jajan. Untuk para orangtua yang memiliki dan ingin membiasakan puasa anak-anaknya silakan mencontoh orangtua saya. Terbukti ampuh! Tidak cukup pembelajaran dalam lingkup rumah saja saya diajarkan ilmu agama. Orangtua saya memercayakan ketiga anak-anaknya untuk menimba ilmu di sekolah dasar berbasis Muhammadiyah. Saya tidak tahu apakah orangtua orang Muhammadiyah apa tidak. Atau mungkin NU. Dulu saya pernah menanyakan kepada bapak saya dan jawabnya singkat dan marem : “ Muhammadiyah NU podho wae, ora ono bedone”. Oke, saya setuju.
Masa kecil adalah surganya masa saat anak-anak bebas bermain dan mengeksplor hal yang ada. Bersikap liar dan luar biasa. Saya sangat menikmati masa ini. Kelompok teman bermain pada rentan waktu 1998 – 2003 (masa SD) merupakan kelompok bermain yang banyak menikmati dan merasakan permainan dari apa dan darimana saja. Kenapa? Karena rentan waktu pada saat itu merupakan masa peralihan zaman orba ke reformasi. Disatu sisi kami masih merasakan permainan tradisional dan di sisi lainnya kami memainkan permainan dan disuguhi hiburan anak-anak dari mancanegara, yang saat itu lambat laun mulai masuk Indonesia. Dua sisi ini walapun berasal dari berbeda latar tetapi mempunyai kesamaan erat yaitu keduanya memiliki orientasi sama, hiburan untuk anak-anak dan mereka menjalankan fungsinya dengan sangat baik. Tanpa menghilangkan esensi bermain. Saya akan memulai dari bagian tradisional terlebih dahulu. Dulu saya dan teman-teman sangat gemar melakukan permainan bercorak lokal. Diantaranya yang masih saya ingat adalah nekeran, benthik, gamparan, boi-boinan, petak umpet, sobak sodor, pistol-pistolan dengan pralon dan balon, tulup pring, jamuran, cendhak ndodhok, dadi patung, dan lain sebagainya. Apakah kalian masih ingat dengan permainan diatas? Masih ingatkah cara memainkannya? Hal paling seru adalah ketika selesai bermain pasti ada pihak yang menang dan kalah. Lucunya, saat ada yang kalah biasanya ia tidak terima dan seringkali kedua anak tersebut udur-uduran hingga paling parahnya jika tidak ada yang mau mengalah berujung saling tonyo. Jika kamu pihak yang berhasil membuat temanmu menangis artinya kamu telah menjadi seorang satria. Tapi tidak berhenti disitu, dan jika temanmu sambil menangis pulang ke rumah dan memberitahukan kejadian kepada bapaknya, kamu berhak memanggil temanmu dengan panggilan anak cengeng!. Setelah kejadian itu dijamin kamu akan dihargai oleh sesama temanmu. Sungguh saya rindu masa lalu.
Dahulu ada dua musim yang selalu ditunggu-tunggu saya dan teman-teman yaitu musim layangan dan musim petasan. Saat datang musim layangan, tepatnya jatuh bersamaan dengan musim kemarau di Indonesia, langit angkasa di sekitar rumah meriah dengan berbagai bentuk dan warna-warni layangan. Para tua-muda dengan riang setiap sore menerbangkan layangan. Baik layangan buatan sendiri ataupun produk jadi. Ada keunikan sendiri dalam bermain layangan di tempat tinggal saya. Jika layangan terdapat tempelan ekor, biasanya ditempel di bagian bawah dan berbahan koran atau bahan-bahan ringan lainnya, itu pertanda bahwa sang penerbang layangan tidak berniat untuk menarungkan layangannya. Sementara lainnya harus menghormati layangan tersebut. Semua kesepakatan ini merupakan aturan tidak tertulis yang entah datang dari mana. Meskipun demikian, aturan tersebut ditaati oleh semua penerbang layangan. Bagi yang tidak menerbangkan layangan juga tidak ketinggalan untuk ber-euphoria pada musim ini. Orang-orang yang tidak menerbangkan layangan biasanya hanya akan menunggu layangan gabul atau putus dari benangnya akibat saling bergesekan senar satu dengan yang lainnya. Mereka hanya tinggal duduk dan menunggu momen, mereka akan berhamburan saling kejar-mengejar jika ada layangan putus. Dengan suka cita dan semangat menggebu mereka berlari adu kecepatan kaki. Barangsiapa lebih cepat maka ia akan mendapatkan layangan putus dan barangsiapa yang lebih banyak mendapatkan layangan putus maka ia dengan sendirinya dicap sebagai anak terkuat dan terlincah dari semua orang-orang yang ikut dalam misi pengejaran tersebut. Begitulah permainan layangan, simbol kehormatan dan kemenangan bagi anak-anak desa seperti kami.
Lain musim lain cerita. Pada musim petasan juga tidak kalah seru. Musim petasan berlangsung sebulan penuh saat bulan Ramadhan. Dahulu penjualan obat petasan masih bebas dan mudah dijangkau bagi semua orang tidak seperti sekarang. Dengan kemudahan akses, kami membeli obat petasan dan membuat petasan seperti yang kami inginkan. Petasan yang sering kami buat diantaranya bentuk tabung memanjang (leo) dan segitiga (sempe). Dua bentuk ini merupakan petasan yang mempunya daya ledak tinggi dan menimbulkan suara menggelegar. Namun begitu kami tidak sembarangan menyulut petasan tersebut. Ada waktu-waktu dan tempat tertentu yang sengaja kami pilih untuk menyalakan benda itu. Waktu favorit kami biasanya dilakukan setelah ritual sembahyang shubuh dan tempat yang kami pilih adalah jalan-jalan utama di desa yang kanan-kirinya merupakan areal persawahan warga. Di jalan utama tersebut juga banyak orang-orang melakukan jalan-jalan pagi setelah sembahyang sholat. Suara petasan tidak sebaliknya membuat marah para warga namun suara tersebut banyak menarik perhatian orang-orang yang melintas di jalan itu. Bahkan ketika petasan habis, banyak juga orang-orang mengeluh kecewa. Begitulah tradisi petasan disetiap ramadhan tiba. Tanpa petasan ramadhan tiada artinya, katanya. Ada juga tradisi membunyikan long bumbong (terbuat dari sebatang bambu). Permainan ini juga tidak kalah menarik dibanding petasan. Permainan ini, selain murah meriah juga merupakan teman saat menunggu berbuka puasa tiba. Saking senangnya bermain di bulan ramadhan saya sering lupa mendatangi pengajian dan banyak meninggalkan berbagai macam sembahyang. Akibatnya, saya sering membuat laporan dan memalsukan tanda tangan ustadz. Yah, apapun saya lakukan demi nilai terbaik, demi terpenuhinya semua tabel di dalam buku panduan ramadhan sekolah saya.
Hiburan dari mancanegara yang masih saya ingat sampai sekarang antara lain, menonton acara kartun minggu pagi sampai siang hari. Praktis pada setiap hari minggu jarang sekali ditemui anak-anak bermain di luar rumah dan ekses seperti ini banyak sekali manfaatnya, khususnya bagi si orangtua dan anak. Saya mempunyai pengalaman menarik berkaitan dengan hal tersebut. Persahabatan kami bertambah erat setelah menonton acara kartun, kami membahas setiap cerita kartun yang ditayangkan. Tidak ada yang terlewat satu pun kartun di minggu pagi yang kami bahas. Anak yang dapat menguasai isi cerita kartun paling banyak ialah anak yang paling pintar dan cerdas. Bayangkan betapa banyaknya kartun yang ditayangkan dan bagaimana bisa kami melihat setiap kartun yang ditayangkan disetiap televisi padahal kartun-kartun favorit bersamaan jam penayangannya disetiap stasiun televisi. Berbagai cara kami lakukan salah satunya dengan cara bergantian menonton kartun disetiap channel stasiun televisi. Jadi, tidak ada sama sekali kartun yang kami tonton dari awal sampai akhir. Ini semua hanya demi terlihat sebagai anak yang paling paham. Acara televisi produk manca lainnya yang populer pada saat itu adalah Amigos, setelah pulang sekolah saya langsung menyalakan televisi. Tidak boleh satupun adegan yang terlewatkan. Alasannya persis sama seperti diatas. Isi film akan menjadi bahasan pembicaraan utama di kelas-kelas. Bahkan saya juga sempat mengoleksi kertas binder dan segala jenis pernak-pernik berkaitan dengan film tersebut. Sungguh saya tertawa malu saat menulis bagian ini. Berbicara mengenai barang-barang koleksi, saya sempat membuat dompet orangtua saya kembang kempis tidak stabil dikarenakan saya termasuk anak korban iklan. Saya banyak membeli snack ringan hanya untuk mengoleksi barang-barang hadiah dari makanan itu. Dimulai dari gambar-gambar pokemon, gambar-gambar digimon, dan sebagainya. Kalau dipikir-pikir sekarang, saya menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk mengoleksi barang-barang tersebut. Saya juga bingung mengapa dulu saya giat mengoleksi hadiah snack itu. Apakah anak-anak memang rentan terhadap praktek hipnotis?
Hari berganti hari otomatis usia juga semakin banyak. Hal ini memengaruhi pola pikir saya dalam kehidupan keseharian. Di bangku SMP saya aktif berkegiatan di dalam organisasi remaja Islam masjid di lingkungan tempat tinggal. Banyak pengalaman organisasi yang saya dapat. Seperti bagaimana cara membuat acara keagamaan, mengkoordinasi kegiatan kerja bakti, bagaimana cara dakwah Islam yang baik dan santun, dan sebagainya. Di usia ini saya sadar betul bahwa saya hidup di lingkungan yang heterogen. Mempunyai berbagai latar belakang SARA yang berbeda-beda. Dibutuhkan sikap toleransi dan saling menghargai antar sesama. Untung para sesepuh desa merupakan orang-orang bijaksana dan mampu menularkan sikap bijaknya terhadap semua warganya. Dengan semua sikap dan nilai-nilai yang ada, wilayah saya aman dari bentrokan-bentrokan baik bersifat vertikal maupun horizontal.
Sekian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar