Kamis, 18 Agustus 2016



:::::::bersama Seno Gumira Ajidarma dan tas putih yang digenggamnya itu adalah sebuwa gudeg. Orangnya banyak omong super kritis. Di setiap sudut jalan hampir semuanya tidak luput dari penglihatannya. Ocehannya tipikal seorang anarko. Ya, memang ia adalah seorang anarko. Ia memulainya dengan mengejek habis disain arsitektur hotel-hotel di pusat Kota Jogja disusul penempatan baliho-baliho yang semrawut, trotoar-trotoar yang tidak ramah pejalan kaki, kemacetan yang timbul dari banyaknya pemakai mobil apalagi jika satu mobil hanya diisi oleh satu orang. Sebenarnya masih banyak cerita yang ia bagi ketika itu. Tetapi apa daya, saya lupa. Sangat keras ingatan ini saya coba untuk keluarkan, ah, tetap lupa. Lupa itu sungguh menyebalkan, persis seperti luka (((LUKA))). Nah, begitulah ia bertingkah selama perjalanan dari Sewon menuju Adisucipto. Sebuwa pengalaman menarick.

Jogjakarta. Kota persinggahan. Puluhan tahun yang lalu dari kota ini ia memutuskan untuk mengembara. Berkelana melakukan perjalanan. Melakukan proses mengalami, sebuah aktivitas alamiah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan orang-orang.

Waktu peristiwa: November, 2014

1 komentar: