Rabu, 02 Januari 2013

Kotak Ajaib Keluargaku


Kotak ajaib itu bernama televisi. Kotak berwarna berisi gambar-gambar gerak. Berisi dialog dan pergerakan-aktivitas manusia. Baik yang direncanakan ataupun tidak. Dia menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan oleh manusia di muka bumi.

Televisi. Dunia khayalan bagiku. Kehidupan ideal yang ku idam-idamkan. Menjadi seperti aktor di dalam film-film televisi. Punya pacar, ganteng, dan kaya raya. Berkenalan dengan gadis, tanpa proses panjang dan dengan gampang langsung menuju ranjang.

Atau, kubayangkan diriku menjadi seorang anak band. Tanpa proses panjang dan dengan lagu-lagu pop romantis membius para gadis dan menjadi terkenal. Memakai pakaian dan gadget mahal produk asing. Membelanjakan uang bersenang-senang di kafe elit atau menghabiskan malam bersama gadis sewaan di diskotik bangsawan.

Enaknya menjadi masyarakat televisi, ingin ku hidup di dalamnya. Mencari banyak gadis lalu menikahinya, menjadi poligami tanpa ada tendensi kaum-kaum agamis. Sesudahnya membuat rumah diatas gunung, untuk kesehatan anak-anakku yang banyak, dan keturunan-keturunanku, nantinya akan menurunkan dinasti-dinasti dari seorang ayahnya yang bijak nan rupawan seperti pangeran Inggris.

Hidup tanpa agama juga bisa di dalamnya. Tidak ada aturan tumpang tindih. Bebas-sebebasnya tanpa dogma. Juga tak perlu repot membelanya mati-matian sampai mati, sampai perang. Dengan hidup sebebas-bebasnya tanpa batas, aku bisa hidup tenang mencari tempat tinggal di sudut kota Palestina ataupun Israel.

Hidup bebas. Hidup luang selamanya. Uang tiada habis. Aktivitas tiada mengikat. Aku benar-benar dapat berjalan-jalan kemana saja. Melintasi benua, mengarungi laut. Menembus hutan, mendaki gunung ke banyak penjuru negara. Lalu menyelam ke kedalaman paling dalam lautan-lautan di berbagai laut. Menjadi MAPALA sesungguhnya!

Tapi itu semua hanya khayalan, Cuma imajinasi saja. Khayalan jika benar-benar masuk ke dalam dunia televisi. Hidup didalamnya.

Itu semua tidak mungkin terjadi. Saya hanya melakukan pengandaian dan menelaah bagaimana dampak terlalu banyak menonton acara-acara televisi. Orang-orang cenderung tersugesti, hati terasa didorong tidak sadar setelah selesai menonton acara-acara kotak ajaib itu. Tergerak untuk melakukan apa-apa yang dilihatnya dari televisi. Terngiang terus di kepala apa-apa yang dilihatnya di televisi.

Tetapi tunggu dulu, terlalu banyak menonton acara-acara televisi yang bagaimana dulu? Tentu jika terlalu banyak tontonan positif maka baik-baiklah orang itu. Tetapi jika sebaliknya? Mungkin baik, mungkin tidak. Tergantung moral bagaimana yang orang itu punya.

Baik buruknya kualitas program televisi, menurut saya, bukan berdasar dari pendapat orang per orang. Program televisi, baik-buruk, dapat dicari menurut konteks waktu. Maksudnya begini, anak-anak tidak mungkin menonton acara dewasa – seperti talkshow hubungan istri-suami – pada dini hari. Seharusnya anak-anak sudah tidur saat itu. Menurut waktu, acara itu dikhususkan untuk umur diatas 17 tahun alias sudah akil baligh. Tapi masalah selanjutnya adalah, siapa yang harus bertanggung jawab? Orang tua? Apa pihak televisi yang seharusnya disalahkan?

Apakah acara tinju baik bagi anak-anak? Apakah acara talkshow baik bagi anak-anak? Apakah acara yang berbau seks dan kekerasan baik untuk anak-anak? Dll. Semua kembali kepada pengawasan dan kontrol waktu yang ketat oleh pihak orangtua – solusi terakhir ketika KPI hilang keberaniannya.

Di posisi seperti ini, televisi selalu dikambinghitamkan. Dan dengan kejadian seperti ini televisi sampai detik ini, oleh para kaum intelektual dan akademis selalu menjadi objek kesalahan. Padahal, pihak orangtualah yang menurut saya bertanggung jawab jika ada suatu persoalan seperti diatas.

Pernyataan bahwa dewasa ini program-program televisi tidak bermutu adalah sesuatu yang salah kaprah dan hanya mementingkan satu sudut pandang saja. Tidak berpikir zig-zag – meminjam istilah CakNun – alias mempunyai sudut pandang banyak. Memikirkan lebih dalam lagi isu-isu mengenai televisi ini adalah hal mutlak bagi para akademisi. Tidak terkecuali saya.

Coba kita amati perihal apa dan bagaimana pendapat orang-orang mengenai tayangan sinetron. Pernahkah pada jam-jam penayangan sinetron kalian amati dan cermati di setiap sudut rumah ataupun warung-toko di setiap penjuru kota maupun tetangga-tetangga kalian yang menonton sinetron? Atau pernahkah kalian memergoki ibu kalian menonton sinetron?

Lalu coba ajak dialog mereka. Tanyai pendapat mereka tentang sinetron. Hasilnya pasti mengejutkan kalian, diluar ekspektasi kita. Jujur, saya tidak tertarik sama sekali dengan sinetron, tetapi harus diakui pula bahwa untuk sebagian ibu-ibu dan anak-anak, sinetron menjadi tayangan favorit. Kenapa? Kebanyakan para ibu mudah mencerna tayangan itu karena alur cerita yang ringan dan sederhana.

Inilah fakta. Tidak dapat dipungkiri. Sinetron telah menjelma menjadi sebuah kerajaan megah namun merakyat. Dan menjadi arena rekreasi akibat keresahan dan kesusahan ekonomi yang terus menerus melanda rakyat kecil. Lalu, apakah kita masih setia memakai satu sudut pandang? Dalam hal ini sudut pandang subjektif kita?

Televisi merupakan karya yang luar biasa hebatnya di dunia. Penemuan televisi mengakibatkan kemajuan yang luar biasa bagi peradaban manusia. Sistem komunikasi dan informasi tidak lagi dilakukan dengan cara-cara kuno. Hanya dengan mengakses internet, handphone, atau melihat tayangan program televisi, semua informasi dan komunikasi dapat dengan mudah diterima.

Tetapi jika tidak hati-hati dapat pula manusia terjerumus ke dalam efek-efek negatif penggunaan teknologi elektronik tersebut. Penggunaan secara berlebihan tanpa aturan menyebabkan manusia lupa akan peran sosial di masyarakatnya. Penggunaan teknologi elektronik dibutuhkan strategi khusus untuk menciptakan hubungan yang baik antara manusia dan barang-barang elektronik tersebut.

Di dalam keluarga saya, kotak televisi ditempatkan di ruang keluarga. Fungsinya adalah agar mudah diawasi dan mudah dikontrol. Menonton televisi dilakukan setiap hari oleh setiap anggota keluarga. Menonton televisi secara bersama-sama tidak wajib dilakukan di keluarga saya, karena setiap pribadi mempunyai kesukaan yang berbeda. Tidak mungkin dipaksakan. Bapak, Ibu, Kakak, Adik, dan saya memiliki program acara favorit sendiri-sendiri. Terkadang waktunya bentrok untuk melihat acara favorit setiap pribadi. Yang akhirnya hanya berujung pertengkaran dan niat untuk menonton hilang begitu saja.

Televisi adalah simbol toleransi, hemat saya. Televisi ditempatkan di ruang keluarga bukan tanpa sebab. Di ruang keluarga selalu tercipta suasana hangat dan ruang-ruang diskusi. Disitu televisi mempunyai peran penting. Tayangan yang ditonton mencerminkan diri kita. Mencerminkan sikap dan perilaku kita di luar rumah. Mencerminkan pula bahan pelajaran apa saja yang didapat di luar rumah. Secara otomatis tayangan televisi setiap pribadi akan berbeda. Itu dipengaruhi juga dengan lingkungan pergaulan sehari-hari kita. Dan dengan perbedaan itu semua, apakah kita sanggup untuk hidup rukun dan saling menghormati?

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar