Kotak ajaib itu bernama
televisi. Kotak berwarna berisi gambar-gambar gerak. Berisi dialog dan
pergerakan-aktivitas manusia. Baik yang direncanakan ataupun tidak. Dia menjadi
kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan oleh manusia di muka bumi.
Televisi. Dunia khayalan
bagiku. Kehidupan ideal yang ku idam-idamkan. Menjadi seperti aktor di dalam
film-film televisi. Punya pacar, ganteng, dan kaya raya. Berkenalan dengan
gadis, tanpa proses panjang dan dengan gampang langsung menuju ranjang.
Atau, kubayangkan
diriku menjadi seorang anak band. Tanpa proses panjang dan dengan lagu-lagu pop
romantis membius para gadis dan menjadi terkenal. Memakai pakaian dan gadget mahal produk asing. Membelanjakan
uang bersenang-senang di kafe elit atau menghabiskan malam bersama gadis sewaan
di diskotik bangsawan.
Enaknya menjadi
masyarakat televisi, ingin ku hidup di dalamnya. Mencari banyak gadis lalu
menikahinya, menjadi poligami tanpa ada tendensi kaum-kaum agamis. Sesudahnya membuat
rumah diatas gunung, untuk kesehatan anak-anakku yang banyak, dan
keturunan-keturunanku, nantinya akan menurunkan dinasti-dinasti dari seorang
ayahnya yang bijak nan rupawan seperti pangeran Inggris.
Hidup tanpa agama juga
bisa di dalamnya. Tidak ada aturan tumpang tindih. Bebas-sebebasnya tanpa
dogma. Juga tak perlu repot membelanya mati-matian sampai mati, sampai perang. Dengan
hidup sebebas-bebasnya tanpa batas, aku bisa hidup tenang mencari tempat
tinggal di sudut kota Palestina ataupun Israel.
Hidup bebas. Hidup luang
selamanya. Uang tiada habis. Aktivitas tiada mengikat. Aku benar-benar dapat
berjalan-jalan kemana saja. Melintasi benua, mengarungi laut. Menembus hutan, mendaki
gunung ke banyak penjuru negara. Lalu menyelam ke kedalaman paling dalam
lautan-lautan di berbagai laut. Menjadi MAPALA sesungguhnya!
Tapi itu semua hanya
khayalan, Cuma imajinasi saja. Khayalan jika benar-benar masuk ke dalam dunia televisi.
Hidup didalamnya.
Itu semua tidak mungkin
terjadi. Saya hanya melakukan pengandaian dan menelaah bagaimana dampak terlalu
banyak menonton acara-acara televisi. Orang-orang cenderung tersugesti, hati
terasa didorong tidak sadar setelah selesai menonton acara-acara kotak ajaib
itu. Tergerak untuk melakukan apa-apa yang dilihatnya dari televisi. Terngiang terus
di kepala apa-apa yang dilihatnya di televisi.
Tetapi tunggu dulu,
terlalu banyak menonton acara-acara televisi yang bagaimana dulu? Tentu jika
terlalu banyak tontonan positif maka baik-baiklah orang itu. Tetapi jika
sebaliknya? Mungkin baik, mungkin tidak. Tergantung moral bagaimana yang orang
itu punya.
Baik buruknya kualitas
program televisi, menurut saya, bukan berdasar dari pendapat orang per orang. Program
televisi, baik-buruk, dapat dicari menurut konteks waktu. Maksudnya begini,
anak-anak tidak mungkin menonton acara dewasa – seperti talkshow hubungan
istri-suami – pada dini hari. Seharusnya anak-anak sudah tidur saat itu. Menurut
waktu, acara itu dikhususkan untuk umur diatas 17 tahun alias sudah akil baligh. Tapi masalah selanjutnya
adalah, siapa yang harus bertanggung jawab? Orang tua? Apa pihak televisi yang
seharusnya disalahkan?
Apakah acara tinju baik
bagi anak-anak? Apakah acara talkshow baik bagi anak-anak? Apakah acara yang
berbau seks dan kekerasan baik untuk anak-anak? Dll. Semua kembali kepada pengawasan
dan kontrol waktu yang ketat oleh pihak orangtua – solusi terakhir ketika KPI
hilang keberaniannya.
Di posisi seperti ini, televisi
selalu dikambinghitamkan. Dan dengan kejadian seperti ini televisi sampai detik
ini, oleh para kaum intelektual dan akademis selalu menjadi objek kesalahan. Padahal,
pihak orangtualah yang menurut saya bertanggung jawab jika ada suatu persoalan
seperti diatas.
Pernyataan bahwa dewasa
ini program-program televisi tidak bermutu adalah sesuatu yang salah kaprah dan
hanya mementingkan satu sudut pandang saja. Tidak berpikir zig-zag – meminjam istilah
CakNun – alias mempunyai sudut pandang banyak. Memikirkan lebih dalam lagi
isu-isu mengenai televisi ini adalah hal mutlak bagi para akademisi. Tidak terkecuali
saya.
Coba kita amati perihal
apa dan bagaimana pendapat orang-orang mengenai tayangan sinetron. Pernahkah pada
jam-jam penayangan sinetron kalian amati dan cermati di setiap sudut rumah
ataupun warung-toko di setiap penjuru kota maupun tetangga-tetangga kalian yang
menonton sinetron? Atau pernahkah kalian memergoki ibu kalian menonton
sinetron?
Lalu coba ajak dialog mereka.
Tanyai pendapat mereka tentang sinetron. Hasilnya pasti mengejutkan kalian,
diluar ekspektasi kita. Jujur, saya tidak tertarik sama sekali dengan sinetron,
tetapi harus diakui pula bahwa untuk sebagian ibu-ibu dan anak-anak, sinetron
menjadi tayangan favorit. Kenapa? Kebanyakan para ibu mudah mencerna tayangan
itu karena alur cerita yang ringan dan sederhana.
Inilah fakta. Tidak dapat
dipungkiri. Sinetron telah menjelma menjadi sebuah kerajaan megah namun
merakyat. Dan menjadi arena rekreasi akibat keresahan dan kesusahan ekonomi
yang terus menerus melanda rakyat kecil. Lalu, apakah kita masih setia memakai
satu sudut pandang? Dalam hal ini sudut pandang subjektif kita?
Televisi merupakan
karya yang luar biasa hebatnya di dunia. Penemuan televisi mengakibatkan
kemajuan yang luar biasa bagi peradaban manusia. Sistem komunikasi dan
informasi tidak lagi dilakukan dengan cara-cara kuno. Hanya dengan mengakses
internet, handphone, atau melihat
tayangan program televisi, semua informasi dan komunikasi dapat dengan mudah
diterima.
Tetapi jika tidak
hati-hati dapat pula manusia terjerumus ke dalam efek-efek negatif penggunaan
teknologi elektronik tersebut. Penggunaan secara berlebihan tanpa aturan
menyebabkan manusia lupa akan peran sosial di masyarakatnya. Penggunaan teknologi
elektronik dibutuhkan strategi khusus untuk menciptakan hubungan yang baik
antara manusia dan barang-barang elektronik tersebut.
Di dalam keluarga saya,
kotak televisi ditempatkan di ruang keluarga. Fungsinya adalah agar mudah
diawasi dan mudah dikontrol. Menonton televisi dilakukan setiap hari oleh
setiap anggota keluarga. Menonton televisi secara bersama-sama tidak wajib dilakukan
di keluarga saya, karena setiap pribadi mempunyai kesukaan yang berbeda. Tidak
mungkin dipaksakan. Bapak, Ibu, Kakak, Adik, dan saya memiliki program acara
favorit sendiri-sendiri. Terkadang waktunya bentrok untuk melihat acara favorit
setiap pribadi. Yang akhirnya hanya berujung pertengkaran dan niat untuk menonton
hilang begitu saja.
Televisi adalah simbol
toleransi, hemat saya. Televisi ditempatkan di ruang keluarga bukan tanpa
sebab. Di ruang keluarga selalu tercipta suasana hangat dan ruang-ruang
diskusi. Disitu televisi mempunyai peran penting. Tayangan yang ditonton
mencerminkan diri kita. Mencerminkan sikap dan perilaku kita di luar rumah. Mencerminkan
pula bahan pelajaran apa saja yang didapat di luar rumah. Secara otomatis
tayangan televisi setiap pribadi akan berbeda. Itu dipengaruhi juga dengan
lingkungan pergaulan sehari-hari kita. Dan dengan perbedaan itu semua, apakah
kita sanggup untuk hidup rukun dan saling menghormati?
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar