Suara
gemuruh petir saling sahut diatas langit
Para
dedaunan seirama berlenggak-lenggok mengikuti angin
Rintik
bercumbu dengan tanah, mesra
Air
menggenang dan gelombang kecil tercipta
“Pak, hujan kapan
reda?”
Dia menatap mata
bapaknya. Bapaknya tetap acuh. Tak dihiraukan suara anaknya itu.
Sang bapak masih
terlihat khidmat dengan pandangannya. Melihat dengan seksama keadaan diluar
rumah. Hujan bertambah deras.
Angin bertambah
kencang. Suara air bertambah keras. Kodok-kodok menciptakan bebunyian ritmis dan
harmonis.
Teh panas. Kebulnya
tipis keluar dari gelas. Warnanya yang coklat bata mengingatkan akan kematian,
warna tanah. Wanginya harum dan pekat membuat kenangan-kenangan tak sengaja
tercium kembali. Memori masalalu datang bersama hujan dan ruang keluarga.
“Pak?”
“Ya?”
“Kenapa tidak juga
berhenti?”
Bapak menoleh pelan
kepada si buah hati. Dia hanya bisa tersenyum. Dielusnya rambut si anak
beberapa kali. Mereka saling bertatapan.
“Habiskan susumu”
“Biarkan hujan berhenti
dengan sendirinya, Nak. Duduklah tenang dan nikmati saja”
Bau tanah menyebar ke
penjuru ruangan. Sang anak menempelkan kepala ke dada bapaknya. Tersenyum lalu
tertidur pelan. Hujan masih tetap sama. Si bapak memeluk erat badan anaknya. Dipandangnya
buih air pada kaca jendela. Kenangan, pikirnya. Bau tanah menyebar ke penjuru
ruangan. Dingin mulai menusuk. Irama air bersahut-menyahut mensyahdukan ruangan
keluarga. Hujan masih tetap sama. Bapak menghirup nafas dalam. Ditahannya beberapa
saat. Lalu perlahan dikeluarkannya suara pelan.
“Hujan malam ini sangat indah, Dik”
Bau tanah menyebar ke
penjuru ruangan. Hujan masih tetap sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar