Selasa, 24 Januari 2012

Gandrung dan Matahari


 Siang hari di tengah keramaian kota. Saat gerah dan pekat polusi gerobak-gerobak besi. Seorang muda, Gandrung, mencoba menendang mendung diatas kepalanya. Ia mulai mengeluarkan doa-doa berharap mereka berkuasa atas awan itu.
“Mendungku cobalah sedikit saja tampakkan Matahari untukku”
Gandrung bertarung dengan bising lalu lalang. Ia harus konsentrasi pada doanya. Akhirnya ia melupakan malu, Gandrung mengeraskan suara sambil mengangkat kedua tanganya tinggi-tinggi.
“Mendung pergilah! Pergilah sana jauh! Pergiii!"
Ia lelah. Tiba-tiba berhenti. Nafasnya terengah-engah seperti orang sekarat. Sekarang, ia tak bisa apa-apa lagi. Cuma duduk melamun. Berharap sesuatu keajaiban. Lama sekali ia melamun. Matanya yang sayu dan tatapan yang kosong cermin bahwa ia sangat kecewa sekali. Gandrung pun merasa Tuhan tak lagi sayang kepadanya, tak lagi membalas doanya, apalagi menerimanya!
“Hati-hatilah kau dalam berpikir!”
Gandrung kaget hampir mati. Suara dari langit itu menyisakan detak keras dalam jantungnya. Ia pun dengan sedikit ketakutan membalas ucapannya.
“Ba.. baiklah! Aku a..a..akan berhenti berpikir”
“Tapi kenapa kau masih berpikir?”
“Aku tak memikirkan apa-apa!”
“Nah, itu! Kau berpikir tentang bagaimana menghentikan pikiranmu”
“Aih! Oke, oke! Aku akan berhenti berhenti berpikir tentang bagaimana menghentikan pikiranku!”
“Ah! Kau selalu saja bohong rupanya. Kamu ini masih berpikir. Masih berpikir bagaimana menghentikan pikiranmu tentang bagaimana menghentikan pikiranmu yang selalu berpikir!”
“Selalu? Memang kita pernah bertemu? Tolong hentikan percakapan ini. Ini membuatku pusing”
“Hahaha. Kau ini, sudah pelamun, pelupa pula!”
“Setidaknya hargai aku! Aku sudah berusaha sampai-sampai pusing ini kepala!”
“Seberapa usahamu? Ha?”
“Ini usahaku!”
“Mana usahamu? Melamun dan tak berbuat apa-apa?”
“Aku berdoa, bangsat!”
“Hahahahahahahahaha!”
“Asu! Berhentilah menguji dan membuatku bingung!”
“Kau ini yang membuatku bingung, kawan”
“Kamu ini siapa? Hakim? Jaksa? Polisi? Kok dari tadi kamu ini selalu saja berputar-putar dan tak jelas arah pembicaraanmu”
“Begini kawan, aku hanya mencoba membantumu …….”
“Kamu siapa???”
“……. Hati-hati kau dalam berpikir. Pikiran-pikiran itu bisa membunuhmu sewaktu-waktu. Menikammu perlahan sampai-sampai kau akan takut terhadap apa-apa yang belum terjadi esok hari. Kau lalu takut menghadapi hari. Menghadapi pikiran-pikiran yang tak tentu asalnya itu. Akhirnya kau akan mati kesepian. Merana resah sendirian dihantui pikiran-pikiran jelekmu!”
“Kamu siapa? Siapa! Tampakkan wujudmu!”
“Jika kau menginginkan Matahari, berdoalah dengan ikhlas. Cobalah meminta dengan lembut. Kuatkan rahangmu sebelum bicara. Lalu rasakan setiap huruf, untaian kata, dan baris kalimat yang keluar melalui mulutmu. Rasakan setiap iramanya. Nadanya. Intonasinya. Ikhlaskan semua yang keluar dari bibirmu. Terakhir, untuk menguatkan doa-doamu, berikhtiarlah dan jangan mengeluh. Doamu akan terkabul”
“Kamu bilang aku ini tak pandai berdoa? Tak pandai bicara? Dan tak pandai ikhtiar?”
“Kau yang mencap dirimu sendiri seperti itu. Jangan tuduh aku. Oiya kawan, soal label-label diatas yang kau tuduhkan sendiri kepada dirimu, orang-orang tak butuh sekolah, tak butuh pendidikan tinggi-tinggi untuk bisa berdoa. Semua orang berhak untuk berdoa. Semua orang berhak untuk bahagia”
“Ah. Sudahlah. Aku capek. Ingin sendiri! Pergilah sana! Jangan bikin ribut!”
“Dasar laki-laki!”
“Apa?!”
“Dasar laki-laki kubilang……”
“Lantas apa?”
“Cobalah pikiran-pikiran itu kau bagi kepada siapa-siapa saja yang bisa kau percaya. Bisa mendengar dan mencarikan solusi untukmu. Tak baik jika kau pendam sendiri. Apalagi jika kau pelihara terus-menerus. Cobalah saranku ini ….Jangan berlagak pahlawan apalagi jagoan!”
“Aku tak mau digurui! Enyah kau saran! Aku ingin tidur sekarang! Husss!
“Keras kepala!”
“Babi! Kijang! Pipis! Siapa kamu? Jawab, su? Ngan?!”
“Hahahahahahaha. Aku hanya muak denganmu. Kehidupanmu monoton. Hari-harimu lembek. Loyo. Mana mungkin Matahari yang kau damba dalam doamu itu muncul kalau kau seperti ini terus, ha?”
“Ka..ka..kamu sebetulnya siapa?!”
“Aku adalah kamu. Aku adalah hati nuranimu. Aku yang selalu kau campakkan selama ini. Dan… apakah kamu sadar bahwa aku tak pernah diberi peluang untuk masuk ke dalam pikiranmu?”
Gandrung menggigil keras. Tubuhnya mendadak dingin seperti es. Muncul darah di hidung dan mulutnya.Keringat-keringat bercucuran dimana-mana di segala bagian tubuhnya. Tak disangka suara itu sangat menakjubkan akibatnya. Ia akhirnya pergi setelah Gandrung tergeletak pingsan tak berdaya di bawah pohon Jambu dekat terminal.
Sementara itu diatas tepat tubuh Gandrung, Matahari muncul dengan anggun dari balik awan-awan mendung. Ia seperti sedang memancarkan sinarnya untuk Gandrung agar segera bangkit dan berlari mengubah hidup. Tapi tak lama setelah itu, Matahari pergi juga dari sana. Ia tak tega melihat rupa Gandrung penuh darah. Mendung pun agaknya tahu perasaan mereka berdua. Lalu turunlah rintik hujan dengan pelan. Membasahi sedikit demi sedikit tubuh Gandrung. Menyatulah tubuhnya dengan air suci dari langit.
Hujan pun semakin deras. Seperti derasnya pengharapan Gandrung saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar