Saya
termasuk orang nomaden. Sering berpindah tempat alias rumah tinggal. Dalam
kurun waktu 16 tahun saya sudah berpindah rumah tiga kali. Sebagai seorang anak
saya tidak bisa berbuat banyak mengubah jalan pikiran orangtua. Hanya pasrah
dan mengikuti kemauan orangtua. Dengan perasaan berat hati saya meninggalkan
tempat lama dan bersiap adaptasi dengan lingkungan tempat tinggal baru. Sejak
pertengahan tahun 2011 kami sekeluarga sudah menempati rumah baru di daerah
Nanggulan, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Di tempat baru inilah saya mencoba
belajar menyesuaikan diri layaknya anak-anak belajar sepeda roda dua. Sebelum
benar-benar jiwa saya berpindah tempat, saya akan menceritakan kisah kenangan
ataupun pengalaman manis saat berada di rumah pertama dan kedua, untungnya
jarak antar dua rumah ini saling berdekatan hanya dibatasi oleh lingkungan
masjid sehingga saya benar-benar memiliki sebuah cerita yang kompleks dan
berkesan. Saat masih berada di Minomartani, tempat tinggal pertama dan kedua,
saya duduk dibangku TK sampai dengan kuliah masuk tahun kedua. Direntang waktu
yang cukup panjang tersebut saya akan membagikan pengalaman dan ingatan-ingatan
menarik kepada para pembaca.
Banyak
pengalaman dan pengamatan yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari disana.
Baik saat bersama keluarga, teman bermain, dan institusi keagamaan. Saya akan
menceritakan satu persatu tiga bagian diatas, dimulai dari keluarga. Saya hidup
dalam suasana serba agamis. Di keseharian selalu melekat doktrin agama.
Orangtua saya cukup keras dalam memerintahkan bersembahyang sholat lima waktu
ataupun hal-hal yang berkaitan dengan agama. Tidak dengan kekerasan fisik
tetapi hanya memainkan intonasi suara saja. Jika adik dan kakak lupa
sembahyang, maka mereka akan menjadi bulan-bulanan omelan orangtua saya.
Apalagi saya, hampir setiap hari orangtua saya menasihati anaknya yang bandel
ini supaya rajin beribadah. Aktivitas ini masih setia dilakukan orangtua saya
sampai detik ini. Huh! Betapa merepotkan saya. Ada pembelajaran unik dan
menggiurkan pada waktu itu, yaitu saat puasa ramadhan orangtua saya menjanjikan
uang seribu rupiah tunai untuk setiap satu hari puasa penuh. Sungguh saya
sangat bersemangat pada saat itu. Berlomba-lomba mencari kebaikan dan
keuntungan! Bayangkan jika puasa penuh 30 hari pasti akan mendapatkan uang 30
ribu rupiah yang pada saat jaman seusia SD sudah terhitung lumayan banyak untuk
jajan. Untuk para orangtua yang memiliki dan ingin membiasakan puasa
anak-anaknya silakan mencontoh orangtua saya. Terbukti ampuh! Tidak cukup
pembelajaran dalam lingkup rumah saja saya diajarkan ilmu agama. Orangtua saya
memercayakan ketiga anak-anaknya untuk menimba ilmu di sekolah dasar berbasis
Muhammadiyah. Saya tidak tahu apakah orangtua orang Muhammadiyah apa tidak.
Atau mungkin NU. Dulu saya pernah menanyakan kepada bapak saya dan jawabnya
singkat dan marem : “ Muhammadiyah NU podho wae, ora ono
bedone”. Oke, saya setuju.
Masa
kecil adalah surganya masa saat anak-anak bebas bermain dan mengeksplor hal
yang ada. Bersikap liar dan luar biasa. Saya sangat menikmati masa ini.
Kelompok teman bermain pada rentan waktu 1998 – 2003 (masa SD) merupakan
kelompok bermain yang banyak menikmati dan merasakan permainan dari apa dan
darimana saja. Kenapa? Karena rentan waktu pada saat itu merupakan masa peralihan
zaman orba ke reformasi. Disatu sisi kami masih merasakan permainan tradisional
dan di sisi lainnya kami memainkan permainan dan disuguhi hiburan anak-anak
dari mancanegara, yang saat itu lambat laun mulai masuk Indonesia. Dua sisi ini
walapun berasal dari berbeda latar tetapi mempunyai kesamaan erat yaitu
keduanya memiliki orientasi sama, hiburan untuk anak-anak dan mereka
menjalankan fungsinya dengan sangat baik. Tanpa menghilangkan esensi bermain.
Saya akan memulai dari bagian tradisional terlebih dahulu. Dulu saya dan
teman-teman sangat gemar melakukan permainan bercorak lokal. Diantaranya yang
masih saya ingat adalah nekeran, benthik,
gamparan, boi-boinan, petak umpet, sobak
sodor, pistol-pistolan dengan pralon
dan balon, tulup pring, jamuran, cendhak ndodhok, dadi patung,
dan lain sebagainya. Apakah kalian masih ingat dengan permainan diatas? Masih
ingatkah cara memainkannya? Hal paling seru adalah ketika selesai bermain pasti
ada pihak yang menang dan kalah. Lucunya, saat ada yang kalah biasanya ia tidak
terima dan seringkali kedua anak tersebut udur-uduran
hingga paling parahnya jika tidak ada yang mau mengalah berujung saling tonyo. Jika kamu pihak yang berhasil
membuat temanmu menangis artinya kamu telah menjadi seorang satria. Tapi tidak
berhenti disitu, dan jika temanmu sambil menangis pulang ke rumah dan
memberitahukan kejadian kepada bapaknya, kamu berhak memanggil temanmu dengan panggilan
anak cengeng!. Setelah kejadian itu dijamin kamu akan dihargai oleh sesama
temanmu. Sungguh saya rindu masa lalu.
Dahulu
ada dua musim yang selalu ditunggu-tunggu saya dan teman-teman yaitu musim
layangan dan musim petasan. Saat datang musim layangan, tepatnya jatuh
bersamaan dengan musim kemarau di Indonesia, langit angkasa di sekitar rumah
meriah dengan berbagai bentuk dan warna-warni layangan. Para tua-muda dengan
riang setiap sore menerbangkan layangan. Baik layangan buatan sendiri ataupun
produk jadi. Ada keunikan sendiri dalam bermain layangan di tempat tinggal
saya. Jika layangan terdapat tempelan ekor, biasanya ditempel di bagian bawah
dan berbahan koran atau bahan-bahan ringan lainnya, itu pertanda bahwa sang
penerbang layangan tidak berniat untuk menarungkan layangannya. Sementara
lainnya harus menghormati layangan tersebut. Semua kesepakatan ini merupakan
aturan tidak tertulis yang entah datang dari mana. Meskipun demikian, aturan
tersebut ditaati oleh semua penerbang layangan. Bagi yang tidak menerbangkan
layangan juga tidak ketinggalan untuk ber-euphoria
pada musim ini. Orang-orang yang tidak menerbangkan layangan biasanya hanya
akan menunggu layangan gabul atau
putus dari benangnya akibat saling bergesekan senar satu dengan yang lainnya. Mereka
hanya tinggal duduk dan menunggu momen, mereka akan berhamburan saling kejar-mengejar
jika ada layangan putus. Dengan suka cita dan semangat menggebu mereka berlari
adu kecepatan kaki. Barangsiapa lebih cepat maka ia akan mendapatkan layangan
putus dan barangsiapa yang lebih banyak mendapatkan layangan putus maka ia
dengan sendirinya dicap sebagai anak terkuat dan terlincah dari semua
orang-orang yang ikut dalam misi pengejaran tersebut. Begitulah permainan
layangan, simbol kehormatan dan kemenangan bagi anak-anak desa seperti kami.
Lain
musim lain cerita. Pada musim petasan juga tidak kalah seru. Musim petasan
berlangsung sebulan penuh saat bulan Ramadhan. Dahulu penjualan obat petasan
masih bebas dan mudah dijangkau bagi semua orang tidak seperti sekarang. Dengan
kemudahan akses, kami membeli obat petasan dan membuat petasan seperti yang
kami inginkan. Petasan yang sering kami buat diantaranya bentuk tabung memanjang
(leo) dan segitiga (sempe). Dua bentuk ini merupakan petasan yang mempunya daya
ledak tinggi dan menimbulkan suara menggelegar. Namun begitu kami tidak
sembarangan menyulut petasan tersebut. Ada waktu-waktu dan tempat tertentu yang
sengaja kami pilih untuk menyalakan benda itu. Waktu favorit kami biasanya
dilakukan setelah ritual sembahyang shubuh dan tempat yang kami pilih adalah
jalan-jalan utama di desa yang kanan-kirinya merupakan areal persawahan warga.
Di jalan utama tersebut juga banyak orang-orang melakukan jalan-jalan pagi
setelah sembahyang sholat. Suara petasan tidak sebaliknya membuat marah para
warga namun suara tersebut banyak menarik perhatian orang-orang yang melintas
di jalan itu. Bahkan ketika petasan habis, banyak juga orang-orang mengeluh
kecewa. Begitulah tradisi petasan disetiap ramadhan tiba. Tanpa petasan
ramadhan tiada artinya, katanya. Ada juga tradisi membunyikan long bumbong (terbuat dari sebatang
bambu). Permainan ini juga tidak kalah menarik dibanding petasan. Permainan ini,
selain murah meriah juga merupakan teman saat menunggu berbuka puasa tiba.
Saking senangnya bermain di bulan ramadhan saya sering lupa mendatangi
pengajian dan banyak meninggalkan berbagai macam sembahyang. Akibatnya, saya
sering membuat laporan dan memalsukan tanda tangan ustadz. Yah, apapun saya
lakukan demi nilai terbaik, demi terpenuhinya semua tabel di dalam buku panduan
ramadhan sekolah saya.
Hiburan
dari mancanegara yang masih saya ingat sampai sekarang antara lain, menonton
acara kartun minggu pagi sampai siang hari. Praktis pada setiap hari minggu
jarang sekali ditemui anak-anak bermain di luar rumah dan ekses seperti ini
banyak sekali manfaatnya, khususnya bagi si orangtua dan anak. Saya mempunyai
pengalaman menarik berkaitan dengan hal tersebut. Persahabatan kami bertambah
erat setelah menonton acara kartun, kami membahas setiap cerita kartun yang
ditayangkan. Tidak ada yang terlewat satu pun kartun di minggu pagi yang kami
bahas. Anak yang dapat menguasai isi cerita kartun paling banyak ialah anak
yang paling pintar dan cerdas. Bayangkan betapa banyaknya kartun yang
ditayangkan dan bagaimana bisa kami melihat setiap kartun yang ditayangkan disetiap
televisi padahal kartun-kartun favorit bersamaan jam penayangannya disetiap
stasiun televisi. Berbagai cara kami lakukan salah satunya dengan cara
bergantian menonton kartun disetiap channel
stasiun televisi. Jadi, tidak ada sama sekali kartun yang kami tonton dari awal
sampai akhir. Ini semua hanya demi terlihat sebagai anak yang paling paham. Acara
televisi produk manca lainnya yang populer pada saat itu adalah Amigos, setelah pulang sekolah saya
langsung menyalakan televisi. Tidak boleh satupun adegan yang terlewatkan.
Alasannya persis sama seperti diatas. Isi film akan menjadi bahasan pembicaraan
utama di kelas-kelas. Bahkan saya juga sempat mengoleksi kertas binder dan
segala jenis pernak-pernik berkaitan dengan film tersebut. Sungguh saya tertawa
malu saat menulis bagian ini. Berbicara mengenai barang-barang koleksi, saya
sempat membuat dompet orangtua saya kembang kempis tidak stabil dikarenakan
saya termasuk anak korban iklan. Saya banyak membeli snack ringan hanya untuk mengoleksi barang-barang hadiah dari
makanan itu. Dimulai dari gambar-gambar pokemon, gambar-gambar digimon, dan
sebagainya. Kalau dipikir-pikir sekarang, saya menghabiskan ratusan ribu rupiah
untuk mengoleksi barang-barang tersebut. Saya juga bingung mengapa dulu saya
giat mengoleksi hadiah snack itu.
Apakah anak-anak memang rentan terhadap praktek hipnotis?
Hari
berganti hari otomatis usia juga semakin banyak. Hal ini memengaruhi pola pikir
saya dalam kehidupan keseharian. Di bangku SMP saya aktif berkegiatan di dalam
organisasi remaja Islam masjid di lingkungan tempat tinggal. Banyak pengalaman
organisasi yang saya dapat. Seperti bagaimana cara membuat acara keagamaan,
mengkoordinasi kegiatan kerja bakti, bagaimana cara dakwah Islam yang baik dan
santun, dan sebagainya. Di usia ini saya sadar betul bahwa saya hidup di
lingkungan yang heterogen. Mempunyai berbagai latar belakang SARA yang
berbeda-beda. Dibutuhkan sikap toleransi dan saling menghargai antar sesama.
Untung para sesepuh desa merupakan orang-orang bijaksana dan mampu menularkan
sikap bijaknya terhadap semua warganya. Dengan semua sikap dan nilai-nilai yang
ada, wilayah saya aman dari bentrokan-bentrokan baik bersifat vertikal maupun
horizontal.
Sekian!