Sabtu, 16 Agustus 2014

Hikmah dari Salatiga



Akhirnya, ia kembali kepada suatu malam. Bulan purnama diatasnya dan angin yang menyebar kemana-mana. Ia duduk di kursi tempat biasa ibunya menunggunya pulang dari sekolah. Terdiam. Cuma suara angin yang menyentuh bunga-bunga tapak dara. Saling bergesekan, saling menyapa. Sebuah hubungan diam-diam yang terjadi di tengah malam. Hanya bunga-bunga itu yang tahu. Percakapan diantara mereka. Yang membuat suasana semakin dalam di jurang kesunyian.
Dia masih duduk. Anteng. Tanpa suara apapun. Lebih tepatnya mendadak seperti patung hidup. Sedikit demi sedikit matanya mulai terpejam. Pelan-pelan hingga apa yang dilihatnya adalah sebuah abstrak yang tercipta setelah menutup mata. 

Warna yang dilihatnya berubah-ubah. Seperti air putih yang tercampur pelan dengan kopi dan teh, semuanya tidak jelas. Warna di dalam penglihatannya berubah-ubah seiring otot-otot mata yang digerakkan. Ia mulai mencari-cari ingatannya tentang kejadian yang dianggap sesuatu yang benar-benar mengubah hidupnya. Yaitu percakapannya dengan seorang laki-laki di pinggiran Kota Salatiga.

Sebenarnya laki-laki yang ditemuinya itu bukan orang asing di kehidupannya. Cuma, pada hari itu ia bertemu dengan laki-laki itu di dalam suasana, ruang, dan waktu yang baru. Laki-laki itu bernama Wahyudi. Wahyudi merupakan teman akrab di sekolahnya. Wahyudi dikenal oleh teman-teman satu sekolah sebagai seorang yang rajin, aktivis organisasi, dan sekaligus laki-laki yang terlihat seperti perempuan. Olah tubuh dan cara bertuturnya adalah benar bahwa ia seharusnya menjadi seorang wanita saja. 

Waktu berjalan tanpa peduli isi alam semesta yang bertindak apapun itu. Dia melamun memikirkan apa yang dilihatnya sore tadi. Tidak menyangka bahwa ada yang lebih berhak untuk menangis dan dikabulkan doanya oleh Tuhan dari pada dirinya sendiri. Bahwa dia tidak lebih hanyalah seorang yang cengeng. Bahwa dia harusnya tidak diijinkan lahir ke muka bumi. Dia menangis sejadinya!

Wahyudi. Wahyudi. Sosok yang membuat ia harus kembali bercermin berkali-kali. Sosok yang membuat ia harus menyusun kembali doa-doanya. 

Wahyudi. Wahyudi. Orang yang membuat ia untuk tidak menyia-nyiakan orang tua. Orang yang membuat ia tahu betapa perjuangan dan kerja keras itu penting demi mencapai cita-cita dan mimpi.

Dia berdiri menghadap langit. Menantang Tuhannya sendiri:
“Siapakah yang dapat menghidupkan pijar semangat dari hidupku,
Aku ataukah Kau!?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar