Akhirnya, ia kembali kepada suatu malam. Bulan
purnama diatasnya dan angin yang menyebar kemana-mana. Ia duduk di kursi tempat
biasa ibunya menunggunya pulang dari sekolah. Terdiam. Cuma suara angin yang
menyentuh bunga-bunga tapak dara. Saling bergesekan, saling menyapa. Sebuah
hubungan diam-diam yang terjadi di tengah malam. Hanya bunga-bunga itu yang
tahu. Percakapan diantara mereka. Yang membuat suasana semakin dalam di jurang
kesunyian.
Dia masih duduk. Anteng. Tanpa suara apapun. Lebih
tepatnya mendadak seperti patung hidup. Sedikit demi sedikit matanya mulai
terpejam. Pelan-pelan hingga apa yang dilihatnya adalah sebuah abstrak yang
tercipta setelah menutup mata.
Warna yang dilihatnya berubah-ubah. Seperti air
putih yang tercampur pelan dengan kopi dan teh, semuanya tidak jelas. Warna di
dalam penglihatannya berubah-ubah seiring otot-otot mata yang digerakkan. Ia
mulai mencari-cari ingatannya tentang kejadian yang dianggap sesuatu yang
benar-benar mengubah hidupnya. Yaitu percakapannya dengan seorang laki-laki di
pinggiran Kota Salatiga.
Sebenarnya laki-laki yang ditemuinya itu bukan orang
asing di kehidupannya. Cuma, pada hari itu ia bertemu dengan laki-laki itu di
dalam suasana, ruang, dan waktu yang baru. Laki-laki itu bernama Wahyudi. Wahyudi
merupakan teman akrab di sekolahnya. Wahyudi dikenal oleh teman-teman satu
sekolah sebagai seorang yang rajin, aktivis organisasi, dan sekaligus laki-laki
yang terlihat seperti perempuan. Olah tubuh dan cara bertuturnya adalah benar
bahwa ia seharusnya menjadi seorang wanita saja.
Waktu berjalan tanpa peduli isi alam semesta yang
bertindak apapun itu. Dia melamun memikirkan apa yang dilihatnya sore tadi.
Tidak menyangka bahwa ada yang lebih berhak untuk menangis dan dikabulkan
doanya oleh Tuhan dari pada dirinya sendiri. Bahwa dia tidak lebih hanyalah
seorang yang cengeng. Bahwa dia harusnya tidak diijinkan lahir ke muka bumi. Dia
menangis sejadinya!
Wahyudi. Wahyudi. Sosok yang membuat ia harus
kembali bercermin berkali-kali. Sosok yang membuat ia harus menyusun kembali
doa-doanya.
Wahyudi. Wahyudi. Orang yang membuat ia untuk tidak
menyia-nyiakan orang tua. Orang yang membuat ia tahu betapa perjuangan dan
kerja keras itu penting demi mencapai cita-cita dan mimpi.
Dia berdiri menghadap langit. Menantang Tuhannya
sendiri:
“Siapakah yang dapat menghidupkan pijar semangat
dari hidupku,
Aku ataukah Kau!?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar