Penghujung tahun
seperti biasanya Yogyakarta dibanjiri oleh berbagai acara-acara kesenian
berbagai macam disiplin ilmu. Diantara semua kegiatan kesenian, saya
mengunjungi sebuah pameran seni rupa bertajuk “My Existence” karya Sutrisno di
Bentara Budaya Yogyakarta 15 – 23 Desember 2012 dan pameran fotografi “Meminjam
Mata dan Melihat Ruang” karya Fehung di Kedai Kebun Forum 20 – 15 Januari 2013.
Mereka berdua sama-sama pernah menimba ilmu di ISI Yogyakarta. Sutrisno lulus
tahun 2010 FSR jurusan seni murni dan
Fehung lulus tahun 2012 FSMR jurusan fotografi. Mereka juga sama-sama
berpameran secara tunggal di akhir tahun ini.
Ada persamaan mendasar
antara karya Sutrisno maupun Fehung ini. Yaitu mereka berangkat dari pengalaman
sehari-hari. Persoalan keseharian yang mereka dapat mengilhami karya-karya yang
mereka pamerkan. Dua orang ini – dengan melihat
karya-karyanya, merespon keadaan sekitar yang kadang orang-orang lain
mengacuhkannya. Sutrisno dengan teknik cukil dan hand colouring banyak
merespon kehidupan sosial masyarakat serta masalah ataupun potret keseharian
orang-orang di dalamnya. Karyanya dengan judul Together adalah salah satu yang
menyentuh. Terlihat dua orang perempuan memandikan bayi – entah perempuan yang
mana ibunya bayi itu. Perempuan yang satu duduk diatas kursi kecil dan satunya
jongkok. Tampak pula senyum riang perempuan yang memandikan anak itu. Aktivitas
itu tidak terjadi di dalam kamar mandi ataupun di dalam rumah melainkan di
tengah jalan – sepertinya di depan jajaran toko atau lapak, dikuatkan dengan
visual sesosok orang yang berjalan dan dua anjing di dekat aktivitas itu.
Aktivitas intim ini
setidaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan pengamat
politik atau ekonomi tentang dampak-akibat suasana kacau-balau negri. Yaitu mengenai
suasana chaos dan antisosial, yang
tidak terbukti berdampak luas. Juga membuktikan bahwa teori tidak selamanya
berbanding lurus dengan keadaan di lapangan. Salah satu faktor yang menepis
segala prasangka diatas adalah ikatan batin manusia, merujuk pada satu pusat
kelahiran dan proses penciptaan yang sama. Deskripsi ini disimbolkan dengan seorang
bayi. Bayi sebagai antitoksin supaya tidak rusuh dan terus gelisah pusing
memikirkan nasib. Bayi juga simbol kehidupan bersih nan suci. Dengan melihat
bayi – atau bersentuhan langsung (memandikan) orang-orang tidak lagi memandang
remeh kehidupan, bahwa kehidupan layak diperjuangkan. Bahwa tidak ada gunanya
berkeluh kesah apalagi hidup saling merugikan. Bayi adalah refleksi diri juga
cerminan kehidupan ideal komunitas manusia global, damai dan hidup rukun. Karya
diatas seakan cuek terhadap panggung retorika para politikus. Memberitahu juga
bahwa media massa khususnya televisi terlalu melebih-lebihkan masalah. Hingga
orang-orang yang menonton televisi merasa terancam, dibodohi, dan dihantui oleh
kabar menyesatkan. Kabar yang tidak sesuai kenyataan di masyarakat. Berita
tentang kerusuhan, kemiskinan, kekhawatiran, dan isu-isu provokatif yang
sengaja dibuat untuk kepentingan ekonomis segelintir orang atau penguasa.
Begitu pula dengan
karya Fehung. Menggunakan media fotografi, Fehung merekam dengan cahaya objek
yang ditemui di kesehariannya. Ia memotret toko sandang, buah-buah, toko
kijing, dan lain-lain. Tetapi yang membuat pameran ini berbeda adalah kita dipaksa
untuk menjadi orang yang bersudut pandang sebagai penjaga ataupun pemilik
tempat yang di potret. Dengan hanya menyisakan latar depan sebagai bingkai dan
menghilangkan latar belakang foto, Fehung seakan mengajak kita berjalan-jalan
di dunia imaji. Mengajak supaya kita dapat berperan dan bagaimana rasanya bukan
menjadi diri kita – memposisikan diri sebagai liyan sesuai dengan profesi
pekerjaan di dalam foto-foto tersebut. Mengajak kita untuk lebih mengenal sifat
dan menjalin hubungan dialogis kepada sesama. Seringkali orang-orang mudah
terpancing emosi gegara saling beradu pendapat. Atau yang lebih sepele lagi,
orang-orang mudah marah main pukul hanya karena saling pandang. Itu tak lebih
dari sifat egois manusia yang tidak menjalin dialog. Cobalah ketika kita
mengedepankan dialog. Pasti segala prasangka buruk akan sirna.
Fehung dan Sutrisno
sudah mengingatkan kita. Karya Fehung mengedepankan dialog dan Sutrisno yang
mengajarkan melihat setiap persoalan dengan jernih dan positif. Mereka berdua
sukses mengangkat tema-tema ringan dengan tidak meninggalkan esensinya.
Kehidupan sehari-hari masyarakat dikemas apik dan artistik dalam kedua pameran
tersebut.
Sayangnya ada satu
aspek pendukung pameran yang belum digarap maksimal oleh mereka. Yakni katalog.
Coba kita cemati satu per satu. Katalog mereka mempunyai format berbentuk
leaflet. Satu kertas dilipat menjadi beberapa bagian. Setiap satu halaman penuh
gambar maupun tulisan. Saya tidak akan mengkritisi isi di dalam katalog mereka.
Bagi saya di dalamnya sudah mewakili pameran yang mereka angkat. Mengenai ideologi
ataupun tujuan mereka dalam berpameran. Disini saya akan menulis sampai sejauh
mana katalog mereka dapat menghidupi dan dihidupi oleh orang-orang yang
memiliki, mempunyai. Artinya bagaimana katalog itu dapat berbicara sendiri
diluar kegiatan pameran yang berlangsung. Dapat berdiri sendiri sebagai tangan
kanan yang panjang bagi pemikiran mereka berdua. Yang seharusnya dikemas bukan
saja ringan, efisien, dan hemat tetapi juga bagaimana dalam membuat katalog –
dalam bentuk dan format bisa bertahan lama dan patut ditempatkan pada jajaran
rak buku level atas.
Aspek fungsi katalog
setelah acara pameran belum menjadi wacana yang penting. Padahal, katalog, yang
mungkin tidak disadari adalah tubuh kedua yang terus hidup untuk
menyebarluaskan gagasan-gagasan. Seperti apa yang ditulis Mikke Susanto dalam
Menimbang Ruang Menata Rupa: Katalog – kumpulan tulisan, foto, dan data arsip
sebuah pameran juga tak ubahnya sebagai ruang dialog antara berbagai pemahaman
yang dimiliki pembuat dan pembaca. Dari sana terbaca atau menjadi semacam peta
bagi penonton agar tak tersesat dalam memahami karya seni rupa yang dipamerkan.
Dan sekaligus menjadi siasat penyelenggara untuk menghindari kebekuan terhadap
pencitraan-pencintraan karya dari makna dan nilai pentingnya kehidupan.
Secara keseluruhan,
katalog disini masih dikemas sembarangan. Fehung memamerkan karya fotografinya.
Sutrisno dengan karya seni rupanya. Tetapi dengan katalog yang sama secara
bentuk dan isi, bagaimana penonton dapat membedakan dengan tepat dan jelas
kedua pameran itu (ini untuk masyarakat awam). Juga saya merasa kasihan kepada
katalog ini, katalog yang dikemas berukuran persegi dan dilipat sedemikan rupa
menjadi beberapa bagian, yang menurut saya itu merupakan katalog yang belum
matang. Ibarat benda yang belum matang, dia mungkin saja hanya tergeletak di bawah
meja, dibawah tumpukan kertas-kertas gagal print, atau lebih parah di dalam
tempat sampah, karena orang-orang urung merawat dan membaca arsip pameran
tersebut. Katalog bisa bertahan lama di tangan kedua jika pengemasan lebih
menarik. Visual yang indah nan cantik. Juga bahan kertas dan format yang
memungkinkan katalog itu bertahan lama, berfungsi sebagai dokumen dan arsip
pribadi.
Akhirnya, semoga wacana
mengenai katalog ini mendapat respon oleh para seniman. Agar lebih digarap
maksimal dan mempunyai visi ke depan. Sebagai sebuah media perpanjangan ide dan
pemikiran ke sebuah tangan yang baru dan awam. Sebagai media pengingat bahwa
tanggal sekian bulan sekian tahun sekian pernah diadakan pameran si x di x.
Juga menjadi jendela yang di dalamnya terdapat seorang seniman yang besar
karena pemikirannya. Dengan kesadaran seperti itu, tidak mungkin tidak sebuah
keindahan dan kebaikan akan menyebar di hati sanubari masyarakat luas.