Sabtu, 06 Agustus 2011

Mengenang Sang Burung Merak dari Nol


Malam Minggu kali ini wakuncar aku hapus dulu dalam kamus hidupku. Waktunya bermain dengan kata-kata dan bertemu kawan-kawan baru dalam acara Malam Sastra Maloboro #8 Mengenang WS Rendra. Malam Minggu itu tepatnya di pusat kawasan kesenian Yogyakarta, Nol Kilometer, adalah sepenuhnya untuk memperingati dan menghidupkan kembali karya-karya puisi almarhum WS Rendra. Acara yang digagas oleh Paguyuban Sastrawan Mataram ini menampilkan pembaca-pembaca puisi dari berbagai macam latar belakang dari profesi mahasiswa, pelajar, guru, kepolisian, dan lain sebagainya. Tepatnya di depan Monumen Serangan Oemom 1 Maret 1949, mendadak menjadi sangat sesak dan dipenuhi oleh orang-orang pengagum Rendra. 


 Kurang lebih sekitar 15-an orang yang mengambil bagian dalam acara tribute tersebut dengan berbagai macam gaya dan kekhasan masing-masing. Hal yang paling menarik adalah ketika seorang penyair perempuan menggunakan metode teater dan bermonolog, lantas sebelum ia memulai pembacaan puisi ia bermain dan menciptakan bunyi dari tempat menyimpan puisinya, berbentuk tabung berongga. Itu membuat saya terpukau, ah! ya, bagus sekali penampilannya. Ada lagi seorang guru bahasa jawa yang unjuk kebolehan dengan menembang diakhir pembacaan puisinya. Guru itu membuat saya tersindir dan malu, kenapa? Ya karena sebagai anak muda penerus generasi emas bangsa Indonesia saya belum bisa berbuat apa-apa untuk melestarikan kebudayaan lokal, dalam hal ini adalah bahasa Jawa. Mungkin perasaan sindiran itu tak hanya dirasakan oleh saya seorang, tapi juga anak-anak muda yang datang menonton acara tersebut. Ya semoga saja demikian. Di acara itu saya diizinkan untuk mengambil bagian dan membacakan satu karya Rendra yaitu Lagu Seorang Gerilya, puisi Rendra yang khusus dibuat untuk puteranya, Isaias Sadewa, isinya sebagai berikut:

Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.
Malam bermandi  cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu
Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka  di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata 
   
Setelah membacakan puisi diatas tanpa diduga saya mendapatkan bingkisan menarik sebuah buku tapi membuat hati saya sedikit tergoncang, sebuah buku ruqyah mameeen. Langsung kontan saya tertawa sekerasnya dan dengan cepat meraih buku itu, hitung-hitung lumayanlah buat koleksi perpustakaan pribadi saya :D 


              Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam kurang lebih dan itu pertanda acara pembacaan puisi tribute WS Rendra hampir usai. Sebelum kukut, puisi terakhir yang diberi kesempatan untuk naik suara adalah Sajak Sebatang Lisong, salah satu puisi favorit saya karena semangat didalamnya menggugah orang untuk tetap semangat dan pantang menyerah. Akhirnya sajak itu selesai dibacakan dan tanda bahwa acara telah berakhir. Satu yang tak pernah berakhir adalah ruh dari puisi-puisi Rendra yang berkobar, yang memancar terus-menerus. Rendra memang sudah tiada tapi jiwanya akan tetap bersemayam di dalam puisi-puisinya, di dalam hati para pembacanya, di dalam kehidupan sosial kita selama-lamanya.
 Terimakasih Rendra!
               



Tidak ada komentar:

Posting Komentar